Perkembangan teknologi digital diyakini mampu mendukung pertumbuhan perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, pembuatan kebijakan harus selalu mendukung adopsi serta inovasi teknologi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan teknologi digital diyakini mampu mendukung pertumbuhan perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, pembuatan kebijakan harus selalu mendukung adopsi serta inovasi teknologi.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, Kamis (25/7/2019), di Jakarta, memandang, keunggulan daring terletak pada karakteristiknya yang inklusif. Artinya, setiap orang bisa memanfaatkan teknologi untuk menjangkau target pasar yang sulit dijangkau dengan cara-cara konvensional.
”Pengeluaran teknologi digital pun lebih efisien karena pengusaha bisa memilih target yang lebih relevan. Selain itu, ragam teknologi digital terus bermunculan, seperti kecerdasan buatan yang mampu membantu meningkatkan relevansi usaha. Kegiatan ekonomi pun menjadi lebih efektif,” tuturnya.
Di Indonesia, kata Ignatius, sejumlah warga yang kehilangan pekerjaan tetap ”terselamatkan” pendapatan ekonominya karena peluang kesempatan dari teknologi digital. Mitra pengemudi angkutan umum berbasis aplikasi dan distributor ritel atau reseller menjadi contohnya.
Sementara di industri e-dagang khususnya, dia memandang kebijakan yang mendesak adalah pengaturan diskon dan promosi agar tidak menciptakan halangan pemain baru masuk. Hal ini sering kali dilakukan oleh pemain e-dagang berskala besar.
Indonesia telah mempunyai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan secara Elektronik Tahun 2017-2019. Peta jalan memuat delapan program, antara lain pendanaan, perpajakan, dan pendidikan sumber daya manusia. Ignatius belum memperoleh informasi terbaru sejauh mana realisasi program-program tersebut.
Sementara itu, berdasarkan laporan Indeks Inovasi Global (GII) 2019, yang dirilis Rabu (24/7/2019), Indonesia masuk urutan ke-85 dari 129 negara terinovatif. Peringkat Indonesia ini tidak mengalami perubahan dari tahun 2018.
Laporan GII 2019 dirilis oleh sekolah bisnis pascasarjana INSEAD, Universitas Cornell, dan Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). GII adalah tolok ukur global yang bertujuan membantu pembuat kebijakan lebih memahami cara merangsang ataupun mengukur kegiatan inovatif untuk pembangunan ekonomi dan sosial.
Pengukuran GII tahun 2019 berdasarkan 80 indikator, mulai dari investasi penelitian dan pengembangan, aplikasi paten dan merek dagang internasional, hingga indikator lebih baru, misalnya pembuatan aplikasi telepon seluler dan ekspor teknologi tinggi. Sebanyak 129 negara yang menjadi sasaran penelitian berlatar belakang negara berpendapatan tinggi, menengah-atas, menengah-bawah, dan rendah.
GII 2019 juga memperhatikan konteks ekonomi. Inovasi terus berkembang, terutama di Asia, meskipun ada tanda-tanda pelambatan pertumbuhan ekonomi. Tekanan muncul dari gangguan perdagangan dan proteksionisme.
Berdasarkan laporan GII 2019, negara paling inovatif adalah Swiss, lalu diikuti Swedia, Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Finlandia, Denmark, Singapura, Jerman, dan Israel. Urutan berikutnya adalah Korea Selatan, Irlandia, Hong Kong, China, Jepang, Perancis, Kanada, Luksemburg, Norwegia, dan Eslandia.
Negara-negara yang memprioritaskan inovasi dalam kebijakan akan mengalami peningkatan peringkat yang signifikan.
Direktur Jenderal WIPO Francis Gurry dalam keterangan pers mengatakan, GII menunjukkan, negara-negara yang memprioritaskan inovasi dalam kebijakan akan mengalami peningkatan peringkat yang signifikan. Dia mencontohkan China dan India. Pada GII 2018, China berada di peringkat ke-17, lalu tahun ini naik ke urutan ke-14. Sementara India memperoleh peringkat ke-52 dalam GII 2019. Tahun sebelumnya, India berada di ranking ke-57.
China dinilai semakin unggul untuk urusan paten, desain industri dan merek dagang berdasarkan asalnya, serta ekspor teknologi tinggi dan barang-barang kreatif.
Berkat publikasi ilmiah dan universitasnya yang berkualitas tinggi, India menjadi negara paling inovatif kedua di kalangan negara berpenghasilan menengah. India juga mempertahankan peringkat teratas di sejumlah indikator penting, seperti pertumbuhan produktivitas dan ekspor layanan berteknologi informasi dan komunikasi. India juga mempunyai Mumbai, New Delhi, dan Bengaluru yang termasuk 100 kawasan ilmu pengetahuan dan teknologi teratas di dunia.
Tahun ini, India mencapai posisi ke-15 dalam pengeluaran R&D perusahaan global. Ini juga menampilkan peringkat GII di kluster ilmu pengetahuan dan teknologi top dunia dengan Bengaluru, Mumbai, dan New Delhi termasuk dalam 100 kluster teratas dunia.
Mantan dekan dan profesor manajemen Universitas Cornell, Soumitra Dutta, mengatakan, laporan GII memberikan wawasan tentang dinamika inovasi global. Laporan ini sekaligus menyoroti negara inovatif adalah negara yang sukses menerjemahkan investasi material ke inovasi.