Pemerintah memastikan pembangunan sektor kelautan dan perikanan pada 2020-2024 akan berbasis wilayah. Pengelolaan kelautan dan perikanan akan didasarkan pada karakteristik setiap wilayah pengelolaan perikanan.
Saat ini, perairan Indonesia terbagi atas 11 wilayah pengelolaan perikanan atau WPP. Sebanyak 11 WPP meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman atau WPP 571, perairan Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda (WPP 572), Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat (WPP 573), serta Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan (WPP 711).
Selain itu, ada juga perairan Laut Jawa (WPP 712), Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali (WPP 713), Teluk Tolo dan Laut Banda (WPP 714), Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau (WPP 715), Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera (WPP 716), Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik (WPP 717), perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur (WPP 718).
Wilayah pengelolaan juga meliputi perairan Laut Jawa (WPP 712), Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali (WPP 713), Teluk Tolo dan Laut Banda (WPP 714), Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau (WPP 715), Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera (WPP 716), Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik (WPP 717), perairan Laut Aru, Laut Arafuru, serta Laut Timor bagian Timur (WPP 718).
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional merilis, model pengelolaan berbasis WPP sudah dirancang untuk diterapkan sejak 2014, namun dinilai belum optimal. Pengelolaan berbasis WPP diharapkan menghindari generalisasi kebijakan yang mungkin tidak tepat diterapkan untuk wilayah tertentu.
Pengelolaan berbasis WPP mensyaratkan, antara lain perhitungan jumlah nelayan, potensi lestari, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan, jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan, alokasi izin kapal, jenis alat tangkap yang dibolehkan, hingga pengaruh musim.
Mulai 2018, sebagian kondisi WPP sudah mengalami penangkapan ikan berlebih untuk beberapa komoditas. Komoditas cumi, misalnya, sudah mengalami penangkapan penuh hingga penangkapan berlebih di 10 WPP dan hanya tersisa WPP 572 yang masih zona hijau. Kondisi serupa juga terjadi untuk komoditas lobster, yang sudah mengalami penangkapan penuh dan penangkapan berlebih di 11 WPP.
Pengelolaan perikanan berbasis kewilayahan menyisakan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan lebih dulu. Persoalan itu di antaranya peraturan daerah rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Hingga kini, baru 21 dari 34 provinsi yang menyelesaikan perda RZWP3K. Padahal, aturan rencana zonasi mesti diperjelas agar pengelolaan perikanan tidak tumpang tindih dan berbenturan dengan aturan tata ruang. Pemerintah juga perlu memastikan basis data yang akurat agar tata kelola hulu-hilir ditopang akurasi data.
Di sisi lain, pengelolaan berbasis WPP yang terbagi atas kewenangan pemerintah pusat dan daerah jangan sampai berujung pada pengaplingan wilayah perairan yang merugikan masyarakat lokal. Saatnya pemerintah bahu-membahu dengan seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan pengelolaan WPP menjunjung prinsip perikanan keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi berimbang.
Pembangunan perikanan yang berkelanjutan diharapkan tidak saja mengarah pada ekosistem yang sehat, tetapi juga menyejahterakan pelakunya. (BM Lukita Grahadyarini)