JAKARTA, KOMPAS - Sertifikasi kompetensi masih belum dipandang sebagai kebutuhan bagi pekerja. Padahal, dengan mengantongi sertifikat kompetensi, pekerja menjadi mempunyai nilai tambah dan tawar di pasar kerja.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Selasa (6/8/2019), di Jakarta, memandang, sosialisasi pentingnya sertifikat kompetensi belum masif. Ditambah lagi, biaya untuk mengikuti ujian sertifikasi profesi mahal.
"Tidak semua perusahaan mempunyai alokasi anggaran untuk mengirim pekerjanya mengikuti ujian sertifikasi kompetensi. Perusahaan berskala besar biasa melakukannya. Mahalnya ongkos sertifikasi karena variabel pengujian banyak," ujar Timboel.
Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Barista Indonesia Franky Angkawijaya mencontohkan bisnis kedai minuman kopi yang kini sedang populer. Kedai baru dibuka setiap harinya baik di dalam maupun luar Jakarta. Kondisi ini menuntut suplai tenaga kerja berkompeten, khususnya berprofesi sebagai barista.
Dia menceritakan, bersama Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), LSP Barista Indonesia telah menggelar 12 kali kegiatan penyertifikatan bagi barista lokal di berbagai kota, antara lain Jakarta, Bali, dan Bandung. Jumlah barista yang mengikuti program itu sejak tahun 2016 hingga 19 Juli 2018 mencapai 2.925 orang. Tingkat kelulusan ujian baru sebesar 46,6 persen.
"Sertifikat kompetensi memberikan nilai tambah kepada pekerja. Pada akhirnya, produktivitas industri pun meningkat. Mengikuti ujian sertifikasi profesi bukan hal mudah dan jika gagal harus mengulang," ujar Franky.
Kepala Subdirektorat Standardisasi dan Sertifikasi Bekraf Budi Triwinata mengatakan, program fasilitasi ujian sertifikasi yang digagas Bekraf bersifat gratis. Meski demikian, pengujian dilakukan dengan bekerja sama LSP nasional. Sertifikat yang dikeluarkan pun diakui pelaku industri dalam dan luar negeri.
Selain barista, program fasilitasi sertifikasi kompetensi Bekraf menyasar ke profesi pembatik, animator, pengrajin kriya kayu, fotografer, dan musisi. Selama 2016 - 2018, jumlah pekerja bersertifikat mencapai 8.548 orang.
Menurut Budi, Bekraf berencana membuka program fasilitasi ujian sertifikasi kompetensi ke profesi di subsektor industri kreatif lainnya, seperti film, mode, dan penerbitan buku, mulai tahun 2020.
"Peserta yang lulus ujian sertifikasi segera terserap oleh industri atau membuka usaha sendiri. Salah satu tantangan lain dalam sertifikasi adalah Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang harus selalu diperbarui mengikuti perkembangan industri. SKKNI dipakai sebagai acuan saat ujian sertifikasi," kata dia.
Wakil Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Miftakul Aziz, yang dihubungi secara terpisah, menyebutkan, sampai Juni 2019, jumlah pekerja bersertifikat kompetensi yang tercatat di data BNSP sebanyak 4.224.436 orang. Mereka datang dari berbagai sektor industri.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, dari 136,18 juta orang angkatan kerja per Februari 2019, hampir separuh masih lulusan SD, sementara lulusan perguruan tinggi hanya 13 persen. Berdasarkan lapangan pekerjaan, porsi terbanyak, yakni 38,11 juta orang atau sekitar 29,46 persen, bekerja di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Sejak tahun 2018, BNSP berupaya memperbaiki kualitas proses sertifikasi pekerja, dimulai dari mutu asesor berlisensi. Setiap sektor industri juga didorong mempunyai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) beserta peta okupasi pekerja sehingga membantu percepatan sertifikasi.
"Sertifikasi kompetensi menjadi kebutuhan personal pekerja, industri, dan negara dalam menghadapi perkembangan revolusi industri keempat," kata Miftakul.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang 2004 - 2018, jumlah SKKNI hasil koordinasi dengan 29 kementerian/lembaga mencapai 738. Selama kurun waktu tersebut, tidak semua dari kementerian/lembaga aktif melahirkan SKKNI.
Pada periode itu, jumlah SKKNI terbanyak dihasilkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (185), diikuti Kementerian Perindustrian (117), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (109), dan Kementerian Pariwisata (48).