Efektifkan Luar Jawa
JAKARTA, KOMPAS
Pengembangan kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri di luar Jawa bisa mendorong hilirisasi sumber daya alam. Namun, persoalannya, masih banyak kawasan ekonomi belum efektif sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Oleh karena itu, efektivitas kinerja KEK mesti ditingkatkan agar perannya mendorong pertumbuhan ekonomi daerah semakin besar. Apalagi, daerah-daerah di luar Jawa masih tergantung pada komoditas.
"Ketika sudah tidak ada lagi ledakan komoditas sumber daya, baik pertambangan maupun perkebunan, maka akan berdampak pada perekonomian di kawasan luar Jawa tersebut," kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Salah satu persoalan yang menghambat efektivitas KEK adalah kebijakan insentif yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut Andry, persoalan seperti ini mesti dituntaskan.
Perekonomian Indonesia pada triwulan II-2019 tumbuh 5,05 persen. Kontribusi pulau Jawa dalam pertumbuhan ekonomi itu sebesar 59,11 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi Jawa 5,68 persen.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar menuturkan, kunci utama untuk mendorong penyebaran kegiatan perekonomian, khususnya sektor industri manufaktur, adalah ketersediaan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru perlu kesiapan, mulai penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disahkan DPRD dan pembebasan lahan.
Sanny menuturkan, program mendorong pengembangan kawasan ekonomi atau kawasan industri ke luar Jawa sudah dimulai sejak 4-5 tahun lalu. "Hingga kini terjadi pergeseran porsi luas lahan yang dikembangkan di luar Jawa, dari sekitar 25 persen menjadi 40 persen, dibandingkan dengan Jawa," tambah Sanny.
Tantangan
Pertumbuhan ekonomi tahun ini, sebagaimana asumsi makro APBN 2019, sebesar 5,3 persen. Namun, pemerintah menargetkan 5,2 persen. Adapun Bank Indonesia memproyeksikan 5,0-5,2 persen.
Tantangan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi kian berat karena motor penggerak dari konsumsi domestik berpotensi melemah akibat tekanan perekonomian global.
Kepala Ekonom PT Bank UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja, Selasa, menyampaikan, tekanan global semakin nyata setelah tekanan perang dagang AS-China kian menguat, yang berujung pada langkah China melemahkan yuan. Kondisi ini memengaruhi nilai tukar rupiah dan membebani industri nasional, karena sebagian besar bahan baku dan barang modal diimpor.
”Dampaknya pada pelemahan rupiah sehingga dikhawatirkan industri tidak bisa meneruskan harga atau mengurangi impor, yang secara otomatis membuat konsumsi masyarakat turun,” kata Enrico.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, konsumsi rumah tangga masih menopang pertumbuhan ekonomi triwulan II-2019, yakni 2,77 persen.
Tim ekonom Bank UOB Indonesia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini, dari 5,2 persen menjadi lebih rendah, yakni 5-5,1 persen. Revisi dilakukan karena pertumbuhan konsumsi diperkirakan melemah, sedangkan kinerja ekspor masih menantang. Risiko perekonomian domestik pada semester II-2019 masih didominasi faktor global.
Ekonom Bahana, Putera Satria Sambijantoro menyebutkan, pelemahan yuan dapat menjadi risiko dalam neraca perdagangan. Sebab, ada kemungkinan impor Indonesia dari China meningkat, sedangkan ekspor Indonesia ke China akan berkurang. Yuan yang melemah membuat harga produk China menjadi lebih murah. (CAS/KRN/IDR)