Penggunaan bahan bakar nabati berbasis sawit dinilai dapat menghemat devisa impor bahan bakar minyak. Program itu juga berpotensi mengurangi emisi dan menahan kejatuhan harga minyak sawit mentah internasional pada pasokan berlebih.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan bahan bakar nabati berbasis sawit dinilai dapat menghemat devisa impor bahan bakar minyak. Program itu juga berpotensi mengurangi emisi dan menahan kejatuhan harga minyak sawit mentah internasional pada pasokan berlebih.
Kementerian Perindustrian sudah menyusun peta jalan pengembangan industri mesin yang terintegrasi dengan kebijakan nasional bahan bakar nabati atau biofuel. Industri yang memproduksi mesin berbasis bahan bakar nabati akan mendapatkan insentif.
”Harga CPO (minyak sawit mentah) global masih tertekan karena pertumbuhan pasokan tidak diikuti pertumbuhan permintaan,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam diskusi tentang biodiesel dan minyak sawit di Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Airlangga menambahkan, tekanan harga CPO berdampak terhadap harga pembelian tandan buah segar di tingkat petani. Harga tandan buah segar mesti diperhatikan karena berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani sawit.
”Kalau di Brasil ada mesin etanol 100, Indonesia juga mengembangkan Bio100 yang berstandar sama dengan Euro 4. Apabila menggunakan Bio100, PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) yang dikenakan 8 persen. Sementara mobil bermesin pembakaran biasa dikenakan PPnBM berkisar 10-15 persen,” kata Airlangga.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, upaya meredam impor migas atau pengalihan energi dari minyak ke nonminyak—antara lain melalui program B20—dapat berdampak signifikan jika berjalan optimal. Karena itu, semua pihak mesti terlibat.
”Jadi harus ada kejelasan peta jalan untuk memastikan program B20 berjalan optimal, lanjut ke B30, dan seterusnya,” kata Faisal.
Mandatori B20 adalah kebijakan mencampurkan 20 persen biodiesel ke setiap liter solar.
Alternatif solusi lain untuk menekan impor migas, menurut Faisal, adalah mengundang investor membangun kilang minyak. Langkah serupa dipraktikkan Korea Selatan dan Jepang yang tidak memiliki sumber minyak, tetapi mempunyai ketahanan energi.
Jadi harus ada kejelasan peta jalan untuk memastikan program B20 berjalan optimal.
”Mereka impor dalam bentuk mentah dari Timur Tengah dan mengolahnya di kilang-kilang dalam negeri menjadi produk olahan lebih lanjut. Langkah ini juga bisa menekan atau mencegah defisit migas,” kata Faisal.
Dalam neraca perdagangan semester I-2019, neraca migas defisit 4,781 miliar dollar AS. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan semester I-2018 yang defisit 5,617 miliar dollar AS.
Industri otomotif
Dalam diskusi dengan Airlangga, Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia Yohannes Nangoi menuturkan, pelaku industri otomotif mencoba mengikuti alur kebijakan pemerintah.
Salah satunya menekan penggunaan bahan bakar fosil sehingga emisi lebih rendah. Kendaraan yang diproduksi di Indonesia pada 1972-2018 sekitar 18,3 juta unit.
”Kira-kira 25 persen dari jumlah itu atau berkisar 4,5 juta-4,6 juta unit di antaranya bermesin diesel. Kami sudah meriset ke lapangan, hampir tidak ada lagi (yang pakai) solar murni. Semuanya solar B20,” kata Nangoi.
Nangoi tidak menampik B20 ditolak pada tahap awal. Namun, setelah diimplementasikan, terbukti tidak ada masalah. Penurunan tenaga kendaraan berkisar 1-2 persen dinilai dapat ditoleransi.
Perihal rencana B30, ada tujuh merek anggota Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang sedang menjalani tes pada berbagai jenis kendaraan. Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Paulus Tjakrawan menuturkan, pemakaian biodiesel di Indonesia saat ini baru 6,2 persen dari produksi sawit.
”Sepanjang 2019 kami berharap bisa menyerap 12,7 persen produksi sawit. Pada 2020 pemakaian biodiesel domestik diproyeksikan sekitar 17,5 persen dari produksi sawit,” kata Paulus. (CAS)