Kecelakaan Laut Beruntun Menuntut Jaminan Keselamatan Penumpang
Pekan lalu, KM Izhar terbakar di perairan Sulawesi Tenggara. Tujuh orang tewas akibat musibah itu. Saat itu, KM Izhar ditumpangi 74 orang.
Oleh
M CLARA WRESTI
·3 menit baca
Pekan lalu, KM Izhar terbakar di perairan Sulawesi Tenggara. Tujuh orang tewas akibat musibah itu. Saat itu, KM Izhar ditumpangi 74 orang.
Pada pekan yang sama, tugboat Buana Nusantara 7 yang berukuran 143 gros ton (GT) mengalami musibah saat menarik tongkang Bina 95 di perairan Tanjung Menjangan, Sumatera Selatan. Sebanyak 10 awak kapal, termasuk nakhoda, selamat.
Tugboat itu berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menuju Jambi menggandeng kapal Bina 95 yang mengangkut 175 kontainer. Di tengah perjalanan, tugboat bocor, kemudian makin tenggelam. Sebanyak 124 kontainer tenggelam ke laut dan 51 kontainer masih ada di tongkang.
Sementara itu, dalam penelitian awal kebakaran di KM Izhar, jumlah penumpang yang diangkut kapal tradisional itu menimbulkan pertanyaan. Sebab, kapal berukuran 93 GT itu seharusnya hanya bisa mengangkut 33 orang. Di surat persetujuan berlayar yang dikeluarkan Kepala Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Kendari pada sore hari, jumlah penumpang yang dilaporkan hanya 33 orang.
Ternyata, kapal berangkat tengah malam dari dermaga feri milik Dinas Perhubungan Kendari, bukan dari dermaga di bawah pengawasan langsung KSOP. Kapal itu bisa berangkat dengan mengangkut 74 orang.
Fokus keselamatan
Kapal laut merupakan sarana transportasi paling murah dan seharusnya bisa paling aman. Namun, kecerobohan pelaku di sarana transportasi itu membuat musibah di laut masih sering terjadi. Kenakalan nakhoda, yakni mengangkut penumpang jauh melebihi kapasitas muat, sering terjadi. Sementara itu, tidak semua pengawasan bisa dilakukan dengan sangat ketat.
Masalah keselamatan pelayaran dan kelaiklautan kapal terus didengungkan. Masalah ini harus menjadi fokus bagi Inspektur Kelautan dan Asisten Inspektur Kelautan sebagai pejabat pemeriksa keselamatan kapal di Indonesia demi terciptanya keselamatan pelayaran.
Meski demikian, dalam praktiknya, pengawasan masih sulit dilakukan dengan sempurna. Masih banyak celah pelanggaran, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan mesti dilakukan diiringi penegakan hukum yang ketat. Tanpa penegakan yang ketat, semua upaya itu akan sia-sia.
Ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk menutup celah penjagaan, misalnya dengan menggandeng perusahaan asuransi untuk memeriksa kelaikan kapal. Sebab, jika terjadi musibah terhadap kapal yang diasuransikan, perusahaan asuransi yang menanggung klaimnya.
Cara lain, bersama pengelola pelabuhan, baik pemerintah, perusahaan BUMN, maupun swasta, bisa mulai menerapkan sistem tiket elektronik dan penjagaan pelabuhan yang ketat. Penjagaan pelabuhan bisa dikelola seperti halnya di bandara. Hanya penumpang yang memiliki tiket yang bisa masuk ke dalam terminal.
Penjualan tiket secara dalam jaringan akan membuat jumlah tiket yang dijual terbatas sesuai kapasitas kapal. Selain itu, dengan sistem penjagaan yang ketat seperti di bandara, penumpang gelap juga bisa dicegah.
Hal ini sudah terbukti pada moda transportasi kereta api. Pengaturan penumpang kereta api lebih rapi dan tertata, serta terdata baik, dengan mengubah sistem menjadi lebih ketat. Perubahan itu membuat konsumen lebih merasa aman dan nyaman.
Jika kereta api bisa, tentu kapal laut pun bisa. Persoalannya kini, mau berubah lebih baik atau tidak.