Awan kelabu yang menyelimuti prospek perekonomian global berimbas negatif terhadap ekspor dan investasi Indonesia. Untuk itu, berbagai jurus dikerahkan pemerintahan Presiden Joko Widodo demi memacu kinerja yang lesu, tak terkecuali obral insentif fiskal.
Pemerintah getol menerbitkan insentif fiskal pada 2015-2019. Insentif fiskal diberikan dalam berbagai bentuk, seperti pengecualian pengenaan pajak (exemptions), pembebasan pajak (tax holiday), pengurangan pajak (tax allowance), fasilitas bea masuk ditanggung pemerintah, dan puncaknya pengampunan pajak (amnesti pajak).
Sepanjang 2019 hingga Juni, misalnya, enam peraturan insentif fiskal baru terbit, antara lain pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) di atas 100 persen untuk kegiatan vokasi dan penelitian, pemangkasan PPh hunian mewah menjadi 1 persen, dan perluasan jenis jasa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar nol persen.
Selain itu, ada beberapa insentif fiskal yang masih terparkir, yaitu untuk kendaraan ramah lingkungan, pengurangan basis pengenaan pajak untuk industri padat karya (investment allowance), dan pembebasan pajak untuk investasi di bawah Rp 500 miliar (mini tax holiday). Wacana penurunan PPh badan menjadi 20 persen jadi perbincangan hangat.
Dari hitungan Kementerian Keuangan, potensi penerimaan perpajakan yang hilang akibat pemberian insentif fiskal di luar pengampunan pajak mencapai Rp 203,5 triliun per tahun pada 2016-2018 atau sekitar 1,5 persen produk domestik bruto (PDB). Angka itu setara dengan tiga tahun alokasi dana desa atau nyaris dua kali lipat anggaran kesehatan.
Menilik potensi kehilangan penerimaan cukup besar, insentif fiskal tentu tidak bisa diminta semaunya. Pemberian insentif harus didasari diagnosis akar masalah dan kalkulasi matang. Jika tidak, insentif fiskal akan menggerus potensi penerimaan perpajakan atau sekadar zero sum game.
Contohnya, insentif kenaikan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) menjadi Rp 54 juta untuk wajib pajak orang pribadi tak ubahnya rem blong. Alih-alih merilis kebijakan populis, kenaikan PTKP justru mengurangi pendapatan negara Rp 18 triliun per tahun. Mayoritas pekerja adalah bebas pajak karena upah minimum regional mereka di bawah PTKP.
Efektivitas
Walakin, jorjoran insentif fiskal belum dibarengi pengukuran efektivitas dan ketepatan sasaran. Pemerintah baru bisa menghitung dampak langsung belanja perpajakan berdasarkan subyek dan sektor penerima insentif. Timbul pertanyaan, bagaimana dampak insentif fiskal bagi perekonomian?
Secara umum, menurut catatan Kompas, pertumbuhan ekonomi RI tidak pernah lebih tinggi dari 5,2 persen sejak 2014. Investasi pada Januari-Desember 2018 hanya tumbuh 4,1 persen, paling lambat dalam lima tahun terakhir. Adapun defisit neraca dagang sepanjang 2018 menyentuh titik terdalam sejak 1975, yaitu 8,7 miliar dollar AS.
Di sisi lain, laju pertumbuhan penerimaan pajak justru di bawah pertumbuhan utang. Penerimaan pajak bahkan tidak pernah mencapai target dalam 10 tahun terakhir. Padahal, pajak menjadi tulang punggung negara, porsinya sekitar 80 persen dari total pendapatan. Rasio pajak juga masih berkutat di kisaran 10-11 persen.
Penerimaan Indonesia yang relatif kecil di tahun 2017, yaitu di bawah 15 persen PDB, mendapat sorotan Dana Moneter Internasional dalam laporan Article for Consultation 2019. Pemerintah secara tersirat diminta menghindari langkah-langkah yang dapat melemahkan pendapatan negara, termasuk memberikan insentif pajak tambahan.
Ketimbang memberikan insentif fiskal, Indonesia disarankan menyusun strategi penerimaan jangka pendek melalui reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan. Sumber-sumber penerimaan baru harus dicari untuk membiayai percepatan pembangunan dan program prioritas nasional.
Kecepatan pemberian insentif fiskal harus dibarengi dengan perluasan basis pajak dan peningkatan kapasitas pajak. Momentum perbaikan sistem perpajakan harus dikembalikan ke relnya sekaligus dikeluarkan dari praktik politik tak sehat. Penegakan hukum menjadi prasyarat untuk membangun sistem perpajakan yang berwibawa.
Patut digarisbawahi, insentif fiskal bukan satu-satunya faktor pendorong perekonomian yang di dalamnya termasuk kinerja investasi dan ekspor. Ada faktor lain, seperti kemudahan perizinan, kemudahan membayar pajak, kepastian hukum, hingga pembebasan lahan. Masih banyak persoalan yang butuh penyelesaian simultan pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo.