Perlu Regulasi dan Insentif Pendukung Kendaraan Listrik
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan dinilai perlu diikuti regulasi dan insentif pendukung.
Oleh
M CLARA WRESTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan dinilai perlu diikuti regulasi dan insentif pendukung. Dengan demikian, kebijakan tersebut efektif menopang perkembangan industri otomotif dalam negeri.
Terkait itu, Kementerian Perhubungan menyiapkan dua peraturan menteri mengenai uji tipe dan uji berkala. ”Draf rancangan peraturan menteri untuk uji tipe sudah siap,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, dalam diskusi Forum Perhubungan di Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Rancangan regulasi uji tipe tersebut menyangkut kinerja baterai mobil listrik. Budi berharap, dalam waktu dekat peraturan itu sudah ditandatangani Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Regulasi kedua yang tengah dikebut Kementerian Perhubungan adalah soal uji berkala kendaraan listrik yang kini dalam proses rancangan. ”Kami ingin uji berkala ini, terutama angkutan umum, dilakukan enam bulan sekali. Di dalamnya juga ada poin terkait kinerja baterai yang harus diperiksa dalam waktu tertentu. Hal ini cukup penting karena setiap mobil listrik dari produsen berbeda punya spesifikasi yang berbeda,” kata Budi.
Menurut Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemi Francis, selain dukungan regulasi, juga perlu insentif yang tepat sasaran, baik di komponen, infrastruktur, ataupun kendaraannya sendiri.
”Insentif yang diberikan pemerintah harus benar ketat. Misalnya, kita memberikan insentif, tetapi masih menggunakan bahan baku impor. Akhirnya justru mematikan konten lokal. Jangan sampai terlalu disetir oleh investor asing,” kata Fary.
Insentif juga jangan mendukung penggunaan kendaraan pribadi. Insentif seperti bebas parkir dan bebas ganjil genap hanya mengurangi polusi udara, tetapi tidak mengurangi kemacetan lalu lintas. ”Sosialisasi harus intens dilakukan dan harga jual bisa dipatok sedekat mungkin dengan daya jangkau masyarakat,” ujarnya.
Demikian juga dengan kesiapan infrastruktur dan stasiun pengisian daya. Saat ini ada dua standar kendaraan listrik yang dipakai, yakni standar Eropa dan standar Jepang. Harus ditentukan standar mana yang akan dipakai atau malah menggunakan standar lainnya.
Direktur Utama PT Transjakarta Agung Wicaksono mengatakan, pihaknya telah melakukan beberapa kali uji coba bus listrik. Dari uji coba itu didapatkan, untuk beroperasi selama 17 jam, dengan jarak tempuh 240 km, dan mengangkut beban 16 ton, kapasitas baterai masih tersisa 47 persen.
”Bus listrik lebih irit, tetapi masih ada kendala, seperti regulasi. Di ketentuan ukuran lebar maksimal bus adalah 2,5 meter. Namun, lebar bus listrik 2,55 meter. Cuma beda 5 cm,” kata Agung.
Dia berharap listrik yang dijual adalah listrik curah sehingga akan mengurangi biaya operasional bus. ”Biaya operasional yang murah akan mengimbangi biaya investasi bus yang terbilang mahal. Harga bus listrik 1,5 kali hingga 2 kali lebih mahal daripada kendaraan berbahan bakar fosil. Kami juga berharap, jangka waktu pengoperasian bus tidak lagi dibatasi 7 tahun, melainkan 10 tahun,” kata Agung.