Produksi tembakau di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, merosot hingga 50 persen lebih daripada biasanya. Kondisi ini akibat keringnya musim kemarau yang menyebabkan sebagian besar areal tembakau kekurangan air sejak awal tanam hingga panen saat ini.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
TEMANGGUNG, KOMPAS — Produksi tembakau di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, merosot hingga 50 persen lebih daripada biasanya. Kondisi ini terjadi akibat keringnya musim kemarau yang menyebabkan sebagian besar areal tembakau kekurangan air sejak awal tanam hingga panen saat ini.
Sekretaris II Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Setyawan mengatakan, panen yang merosot drastis akibat kekeringan ini terjadi merata di semua kabupaten di Temanggung.
”Di daerah di lereng Gunung Sumbing, yang menanam dan memanen tembakau paling akhir, bahkan merasakan dampak paling parah dengan penurunan produksi mencapai hingga 70 persen,” ujarnya, saat ditemui, Senin (2/9/2019).
Total luas areal tembakau di Kabupaten Temanggung tahun ini mencapai sekitar 14.000 hektar. Saat kondisi normal, rata-rata produktivitas lahan berkisar 0,7-0,9 ton tembakau kering per hektar. Namun, pada kondisi sekarang, rata-rata produktivitas hanya mencapai 0,3 ton tembakau kering per hektar.
Kondisi cuaca, menurut dia, memang menjadi masalah utama bagi petani. Tahun kemarin, kekeringan juga menjadi kendala. Namun, karena masih turun hujan pada satu bulan pertama di awal tanam, penurunan produksi tembakau hanya mencapai sekitar 30 persen.
Di daerah di lereng Gunung Sumbing, yang menanam dan memanen tembakau paling akhir, bahkan merasakan dampak paling parah dengan penurunan produksi mencapai hingga 70 persen.
Saat ini, Agus mengatakan, dari sekitar 14.000 hektar tanaman tembakau, sekitar 80 persen lahan sudah selesai dipanen. Namun, dengan melihat kondisi cuaca yang tanpa hujan selama dua bulan terakhir, dipastikan hasil panen di 20 persen lahan sisanya juga tidak akan berbeda jauh dengan panen di areal lainnya.
Kondisi kekeringan ini nyata dirasakan petani. Daryati, petani di Desa Purwodadi, Kecamatan Tembarak, mengatakan, sejak awal Agustus lalu, kekeringan membuat tanaman tembakau tidak mampu tumbuh tinggi sehingga produksi daun pun berkurang sekitar 30 persen.
Untuk mengatasi dampak penyusutan hasil panen, sejak awal Agustus lalu, dia pun sudah berupaya membeli tembakau dari Kabupaten Magelang dan Boyolali. Melakukan lebih dari empat kali transaksi pembelian, total tembakau dari luar daerah yang dibelinya mencapai hingga lebih dari 5 ton.
Saat akan menjual tembakau ke pabrik, tembakau dari luar daerah ini, menurut dia, akan dipakainya untuk menambah tembakau hasil panennya. Hal ini perlu dilakukan karena pabrik biasanya akan menolak bertransaksi jika kuantitas tembakau dari petani tidak memenuhi batasan volume minimal yang ditentukan.
Penyusutan produksi tembakau ini, menurut Agus, juga makin diperparah oleh sistem tata niaga tembakau yang kurang mendukung kesejahteraan petani. Di Kabupaten Temanggung, pembelian tembakau cenderung hanya dimonopoli oleh pabrik rokok tertentu. Dengan kondisi tersebut, maka sekalipun stok tembakau berkurang drastis, harga tembakau pun tidak secara otomatis melonjak.
”Hukum supply and demand (ketersediaan dan permintaan) tidak berlaku. Pabrik yang mendominasi bebas menentukan harga karena dia tidak memiliki pesaing,” ujarnya.
Saat ini, harga tembakau kering grade E hanya mencapai Rp 102.000 per kg dan hari ini dimungkinkan bisa berkurang menjadi Rp 90.000 per kg. Padahal, dengan kondisi berkurangnya hasil panen tembakau ini, petani berharap setidaknya harga tembakau grade E bisa mencapai hingga lebih dari Rp 150.000 per kg.
Menyikapi hal ini, Agus mengatakan, pihaknya berharap Peraturan Menteri Pertanian Nomor 23 Tahun 2019 tentang rekomendasi teknis impor tembakau bisa segera dilaksanakan. Dalam permentan ini ditetapkan bahwa pabrikan yang diberi izin untuk mengimpor tembakau harus membeli tembakau lokal dalam kuantitas dua kali lipat dari tembakau yang akan diimpor.
Dosen dari Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dwi Andreas Santosa, mengatakan, masalah impor benih tembakau ini menjadi hal serius yang semestinya menjadi perhatian dari pemerintah.
Saat ini, volume tembakau impor yang beredar di Indonesia sudah berkisar 30-50 persen dari kebutuhan dan tanpa dibatasi aturan yang jelas, maka volume tembakau impor bisa mendominasi, mencapai 50 persen lebih dari kebutuhan.
”Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, tembakau khas Indonesia pun akan lenyap. Tembakau Indonesia akan bernasib sama seperti kedelai dan bawang putih,” ujar Dwi yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) ini.
Kebutuhan tembakau dalam negeri, menurut dia, mencapai hingga 330.000 ton per tahun. Adapun aliran tembakau impor ke Indonesia berkisar 140.000-150.000 ton per tahun.