Potensi Bali Mandiri Listrik Segera Terpetakan
Bali terus berupaya memetakan potensi energi terbarukan menuju Bali Mandiri Listrik. Kajian pemetaan potensi kelistrikan ini tengah dikaji oleh Universitas Udayana dan Institut Teknologi Bandung mulai bulan Mei 2019 lalu.
DENPASAR, KOMPAS – Bali terus berupaya memetakan potensi energi terbarukan menuju Bali Mandiri Listrik. Kajian pemetaan potensi kelistrikan ini tengah dikaji oleh Universitas Udayana dan Institut Teknologi Bandung mulai bulan Mei 2019 lalu.
Targetnya, bulan September 2019 ini, kajian mengenai pemetaan tersebut selesai. Kemampuan daya listrik di Bali saat ini sekitar 1.300 Megawatt (MW). Perkiraannya terus bertambah menjadi 2.000 MW di tahun 2025.
General Manager PLN Bali Nyoman Suwarjoni Astawa, di Denpasar, Senin (2/9/2019), mengatakan hasil pemetaan potensi listrik di Bali bakal menjadi pijakan rencana kebijakan listrik Bali. “PLN Bali tengah menunggu hasil studi dua universitas tersebut. Hasil tersebut membantu untuk pembuatan proyeksi kebutuhan Bali,” ujarnya.
Ia menambahkan kajian tersebut juga membantu bagaimana PLN Bali memenuhi kebutuhan listrik Bali kedepan. Bagitu pula, lanjutnya, proyeksi itu disesuaikan dengan program Provinsi Bali saat ini. Sejumlah opsi tengah dipersiapkan.
Baca juga : Bali Harus Mandiri dalam Pasokan Listrik
Studi banding PLN Bali, lanjut Astawa, menggunakan pengalaman dari negara China. China dianggap berhasil mengembangkan EBT PLTS dengan skala besar. “Mereka memiliki pengetahuan bagaimana mengatasi intermediasi pembangkit EBT seperti surya dan angin,” ujar Astawa.
Pada 21 Agustus 2019 lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan, usai menghadiri Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi Bali dengan PT PLN (Persero) terkait Penguatan Sistem Ketenagalistrikan dengan Pemanfaatan Energi Bersih di Provinsi Bali, di Kantor Gubernur Bali, memberikan dua saran untuk memenuhi kebutuhan listrik Bali. Pertama, tambahannya sebanyak 700 MW dibagi dua pasokannya. Sebanyak 350 MW dibangun di Bali, dan 350 MW lagi dipasok dari Pulau Jawa, melalui Jawa Bali Connection yang 500 kV. Ia berharap 350 MW yang pasokannya dari Bali berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT).
Selanjutnya, saran Jonan yang kedua, tambahan kapasitas EBT di Bali nanti utamanya dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan penggunaan Crude Palm Oil (CPO) pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). CPO atau yang dikenal sebagai Fatty Acid Methyl Esters (FAME), selain mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), penambahan FAME pada pembangkit juga ramah lingkungan.
Menurut Jonan, Pembangkit Listrik Tenaga Surya bisa besar di Bali. Selain itu, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) tidak lgi menggunakan minyak diesel tapi menggunakan minyak Crude Palm Oil (CPO), sehingga termasuk EBT.
Sementara, Gubernur Bali I Wayan Koster mengatakan Bali sebagai destinasi wisata dunia memiliki visi yang fokus membangun keseimbangan antara alam, manusia dan budaya yang bersih. Peningkatan konsumsi listrik di Provinsi Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia harus diimbangi dengan infrastruktur ketenagalistrikan yang mumpuni.
Pembangunan pembangkit energi bersih yang mengutamakan pembangkit dari energi baru terbarukan (EBT) di Bali, juga perlu penguatan agar sistem kelistrikan menjadi lebih stabil, mengingat karakteristik pembangkit EBT bersifat intermiten. Untuk itu Pemerintah akan menyatukan sistem kelistrikan Bali dengan sistem di Pulau Jawa, agar layanan listrik lebih andal dan konsisten.
Jonan berharap dengan kerja sama ini dapat meningkatkan pembangunan pembangkit EBT di pulau Bali, mengingat Bali memiliki berbagai potensi energi pembangkit EBT yang dapat dikembangkan, seperti surya, panas bumi, air, biomassa, angin, hingga arus laut. Pengembangan ini juga memdorong tercapainya target bauran energi secara nasional dari EBT yang sebesar 23 persen pada tahun 2025.
Dengan adanya JBC, dapat diperoleh manfaat seperti cadangan bersama sistem Jawa-Bali, gabungan energi dan skala keekonomian, serta Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik yang rendah karena dapat menggunakan PLTU Ultra Super Critical di Jawa dan transmisi JBC 500 kV.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, rasio elektrifikasi di Provinsi Bali telah mencapai 100 persen. Sementara daya mampu pembangkit yang dihasilkan untuk kebutuhan pasokan listrik Bali sebesar 1.320 MW, yang dipasok dari PLTU Celukan Bawang 380 MW, kabel laut Jawa-Bali 400 MW, PLTDG Pesanggaran 182 MW, PLTG Pesanggaran 22 MW dan pembangkit BBM 336 MW.
Di samping pembangunan JBC 500 kV, kerja sama juga memuat rencana pengembangan dan pembangunan infrastruktur Hub LNG dan Terminal LNG di lokasi Gilimanuk, Benoa, dan lokasi lain di Provinsi Bali. Peningkatan kapasitas jaringan listrik menuju jaringan cerdas (smart grid) untuk mengoptimalkan pemanfaatan dan pembangunan pembangkit EBT di Provinsi Bali juga diminta dapat berjalan dengan sesuai rencana.
Kompor listrik
Pemerintah sekarang mendorong penggunaan kompor listrik atau kompor induksi sebagai pengganti kompor Liquefied Petroleum Gas (LPG). Jonan menambahkan dengan energi listrik berasal dari sumber-sumber energi domestik, kompor listrik bisa mengurangi impor LPG yang mencapai 5 juta ton setahun.
Baca juga : Motor Listrik Turut Ubah Kebiasaan Pengendara
Menurut Koster, penandatanganan kerjasama dengan PT PLN merupakan langkah awal yang akan terus dimatangkan dan berproses dengan regulasi pendukungnya. Namun ia menekankan, harga jual energi terbarukan yang nantinya diproduksi tidak lebih mahal dari energi konvensional.
“Menyangkut kepentingan masayarakat, saya tak ingin kebijakan ini menjadi beban. Kalau bisa, harga jualnya harus lebih murah,” sebutnya.
Terkait dengan gagasan menentukan zonasi kendaraan listrik, Gubernur Koster akan menerapkannya dengan penuh kehati-hatian. “Kita memang harus berani memulai. Mungkin nanti dirancang zona-zona yang diperuntukkan bagi penggunaan kendaraan listrik seperti di kawasan Denpasar, Kuta, Ubud, Sanur. Saya sudah coba motor listrik, tidak berisik dan tanpa polusi,” cetusnya.
Untuk mendorong masyarakat agar tertarik menggunakan kendaraan listrik, Gubernur Koster pun sudah memikirkan skenario seperti pemberian insentif. “Cepat atau lambat kita harus terapkan. Saya yakin masyarakat Bali cepat beradaftasi,” katanya.