Generasi Milenial Disasar
JAKARTA, KOMPAS--Generasi milenial menjadi sasaran perbankan yang memiliki produk jasa keuangan. Bank tidak hanya menawarkan produk, namun juga mengajarkan perencanaan keuangan bagi generasi yang lahir pada 1980-1999 ini.
Bahkan, demi menarik perhatian generasi yang cenderung dinamis ini, bank mendorong layanan digital dan tampil lebih atraktif.
Terkait upaya menyasar generasi milenial, PT Bank Permata Tbk berusaha mempermudah kegiatan perbankan. Sebab, nasabah milenial cenderung mengutamakan kemudahan akses dan transparansi informasi.
"Bank Permata berusaha memberikan informasi serta edukasi," kata Djumariah Tenteram, Head-Wealth Management, Retail Liability Product & e-Channel Bank Permata di Jakarta, Senin (2/7/2018).
Informasi dan edukasi ini dinilai perlu disampaikan, sebab generasi milenial cenderung lebih konsumtif. Kecenderungan konsumtif ini terutama untuk hal-hal yang bersifat hiburan, seperti untuk membeli gawai dan berlibur.
"Generasi ini lebih memikirkan tujuan jangka pendek ketimbang melakukan perencanaan jangka panjang serta relatif lebih menghindari instrumen investasi," tambah Djumariah.
Pemikiran generasi milenial yang menghindari instrumen investasi ini, kata Djumariah, bisa dipahami. Sebab, anak-anak muda ini hadir pada saat kondisi keuangan 2008 agak bergolak. Akibatnya, mereka cenderung skeptis terhadap jasa keuangan.
Kondisi ini sebenarnya bukan hal buruk. Namun, generasi ini memiliki pola pikir yang berbeda dalam berinvestasi.
"Mereka juga lebih mudah mengakses informasi, sehingga banyak memanfaatkan teknologi untuk melakukan riset sendiri mengenai produk atau instrumen keuangan, daripada bertanya langsung pada perusahaan jasa keuangan," ujarnya.
Dumariah menambahkan, Bank Permata tetap menyodorkan produk investasi bagi kelompok anak muda ini. Diharapkan, mereka bisa memilih investasi yang paling tepat bagi kebutuhan mereka.
Memadai
EVP, Head of Wealth Management & Retail Digital Business Commonwealth Bank Indonesia, Ivan Jaya, berpendapat, generasi milenial tetap harus memperhatikan kondisi keuangan mereka saat memasuki dunia kerja. Generasi ini juga mesti memiliki perencanaan keuangan yang memadai, kendati baru memasuki tahapan magang di dunia kerja.
Ivan menyarankan agar pada tahap magang generasi milenial menyimpan sekitar 10-15 persen penghasilannya. “Tujuannya, agar ada dana untuk berjaga-jaga yang besarnya tiga kali lipat penghasilan,” kata Ivan.
Pada saat telah menjadi karyawan tetap, Ivan menyarankan, proporsi pengelolaan penghasilan terdiri dari 50 persen untuk kebutuhan, 30 persen untuk keinginan, serta 20 persen untuk tabungan dan investasi.
Hal-hal yang bersifat pengalaman dan rekreasi, seperti menonton bioskop, liburan singkat, atau makan di kafe, termasuk dalam daftar keinginan.
Oleh karena itu, tegas Ivan, jika ingin pengalaman atau rekreasi yang lebih bermakna, generasi milenial harus menabung lebih dulu. Dengan demikian, pada saat rekreasi, tak perlu khawatir karena kegiatan itu belum dibayar.
Ivan juga mengingatkan, milenial rentan terbelit utang jika terbiasa mengonsumsi sesuatu yang dibiayai dengan utang. Padahal, mestinya, konsumsi itu dibeli menggunakan dana yang tersedia. “Mereka (milenial) akan terbiasa gali lubang lalu tutup lubang, utang dibayar dengan utang. Keuangan mereka tidak aman jika terjebak dalam situasi ini,” tuturnya.
Gaya hidup memengaruhi generasi milenial. Muhammad Septianto (27) yang sejak 2014 merantau dari Klaten (Jawa Tengah) ke Jakarta, menjadi senang bergaul dan berbagi pengalaman melalui medsos. Kesenangan berbagi pengalaman itu disalurkannya melalui kegiatan wisata dan bergaul di kafe.
“Saya tidak mengalokasikan secara khusus biaya untuk nongkrong atau liburan. Kalau ada saja,” ujarnya.
Meski demikian, Septianto bisa tiga hingga empat kali nongkrong di kafe bersama teman-temannya dalam sebulan. Setiap tiga bulan, Septianto bersama komunitasnya bisa berlibur ke berbagai daerah di Tanah Air.
Akan tetapi, setahun terakhir, ia mulai rutin menyisihkan penghasilannya untuk membeli reksa dana. “Sebenarnya agak menyesal tidak mulai berinvestasi lebih awal. Akan tetapi, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali,” ujarnya.
Dia mengaku mulai rutin menabung setelah ada target untuk menikah pada 2020.