Konsolidasi Operator Telekomunikasi Kembali Didengungkan
Kementerian Komunikasi dan Informatika kembali mendorong konsolidasi operator telekomunikasi seluler untuk meningkatkan kapasitas pertumbuhan industri.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Komunikasi dan Informatika kembali mendorong konsolidasi operator telekomunikasi seluler untuk meningkatkan kapasitas pertumbuhan industri. Konsolidasi diyakini bisa menambah skala ekonomi operator-operator yang berintegrasi.
”Apabila konsolidasi disertai perbaikan kinerja neraca keuangan, kemampuan operator membangun jaringan menguat,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.
Pemerintah menyiapkan regulasi, terutama terkait ketersediaan frekuensi, untuk memberi kepastian bagi operator yang berkonsolidasi ataupun tidak. Dengan demikian, terjadi kesetaraan di industri telekomunikasi. Menurut Rudiantara, pihaknya telah berbicara kepada pemegang saham pengendali operator yang diperkirakan akan berkonsolidasi.
Dia mengaku tidak bisa memberi komentar terhadap merger antara Telenor dan Axiata. Sebab, keduanya pun belum pernah memberikan informasi tentang usulan struktur mereka yang berdampak kepada kepemilikan XL Axiata. ”Namun, kasus Telenor Axiata memberikan pelajaran tidak sederhananya proses konsolidasi, terlebih yang melibatkan perusahaan publik,” ujarnya.
Pada akhir pekan lalu, mengutip Telecoms.com, grup operator telekomunikasi Telenor dan Axiata yang pernah berniat untuk menggabungkan operasi mereka di Asia, menyatakan bahwa penggabungan itu terlalu merepotkan.
Usulan merger kembali gencar diumumkan ke media pada Mei 2019. Pada saat itu, CEO Group Axiata Tan Sri Jamaludin Ibrahim mengatakan, merger akan membuat sejarah baru di industri telekomunikasi. ”Penggabungan akan menciptakan global champion yang berkantor pusat di Malaysia,” ujarnya.
Presiden Direktur dan CEO PT XL Axiata Tbk (XL) Dian Siswarini, dalam acara Paparan Perkembangan Semester II-2019, Kamis (5/9/2019), di Jakarta, bahkan turut menegaskan bahwa pembicaraan merger terus berlanjut walaupun berlangsung alot. Dia mengakui penggabungan tidak mudah dilakukan karena Axiata mempunyai sekitar tujuh operator dan Telenor memiliki sembilan operator.
”Mengenai status kepemilikan XL nantinya, kami rasa itu tergantung keputusan pengambilan struktur saham,” ujarnya.
Bisnis digital seluruh operator telekomunikasi seluler di bawah Axiata kini dikelola secara terpusat. Hal ini menyebabkan segala inovasi tidak lagi dikembangkan oleh setiap operator.
Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Agung Harsoyo, yang dihubungi Minggu (8/9/2019), mengatakan, terkait Telenor-Axiata, BRTI beberapa kali berdiskusi. Menurut rencana, BRTI akan kembali menggelar diskusi lagi Jumat mendatang.
Terkait merger dan akuisisi, kata Agung, sebetulnya tidak memerlukan peraturan baru untuk industri telekomunikasi kecuali soal pita frekuensi. Urusan ini menjadi kewenangan pemerintah untuk mengambil sebagian frekuensi atau tidak. Dari sisi penghitungan lebar pita yang wajar untuk mendukung persaingan sehat, pemerintah bisa membatasi dengan referensi operator terbesar.
”Karena Kemkominfo hingga Oktober tidak diperkenankan mengambil keputusan strategis, kami kira seandainya konsolidasi akan diatur, peraturannya lahir setelah kabinet baru,” ujarnya.
Dalam laporan Moody\'s ”Telecommunicantion-APAC: 2019 Outlook”, pertumbuhan pendapatan operator telekomunikasi di 11 pasar akan melambat. Pelambatan pertumbuhan pendapatan paling menonjol di pasar negara berkembang, yakni pendapatan akan turun menjadi 3,0 persen-3,5 persen pada 2019. Sementara pada tahun 2017, pendapatan masih bisa tumbuh sampai 3,9 persen. Laporan Moody’s itu mencakup 11 pasar di Asia Pasifik, yaitu Australia, Bangladesh, China, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, dan Singapura.
Pertumbuhan pendapatan operator telekomunikasi secara keseluruhan diperkirakan sekitar 2,0-2,2 persen. Dengan pertumbuhan seperti itu akan memperlambat pertumbuhan ke produk domestik bruto rata-rata sekitar 4,6 persen.