Kisah ”Cendol” dan Sampah Pariwisata Indonesia
Meledaknya jumlah wisatawan memang menciptakan lahan subur bagi pemerintah, badan pariwisata, serta perusahaan dan bisnis. Namun, ledakan kunjungan itu juga bisa memicu kegiatan pariwisata yang berlebihan dan sampah.
JAKARTA, KOMPAS — Industri pariwisata di Indonesia berkembang cepat dalam lima tahun terakhir. Perkembangan ini ditandai dengan kenaikan jumlah wisatawan yang turut mendongkrak devisa negara. Namun, apakah ini berkah atau ancaman?
Seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan, destinasi wisata populer kebanjiran wisatawan. Produksi sampah di kawasan itu juga meningkat dan lingkungan kawasan itu lambat laun rusak.
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia menjadi magnet kuat bagi turis, khususnya wisatawan dari luar negeri. Pada periode 2014-2018, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) meningkat 14 persen dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode 2009-2013 yang hanya 9 persen.
Positifnya perkembangan industri pariwisata itu mendorong peningkatan devisa yang dihitung dari nilai belanja wisman. Jika pada 2013 Indonesia mengantongi 10,05 miliar dollar AS, pada 2018 devisa dari perjalanan wisman meningkat menjadi 19,29 miliar dollar AS. Jumlah itu nyaris dua kali lipat dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya.
Berdasarkan riset Asia Pacific Destinations Index (APDI) Mastercard, bagian dari Global Destination Cities Index (GDCI), lima besar wisman yang datang ke Indonesia sepanjang 2018 berasal dari Malaysia (2,5 juta orang), China (2,14 juta orang), Singapura (1,77 juta orang), Timor Leste (1,76 juta orang), dan Australia (1,30 juta orang).
Riset APDI juga menunjukkan turis China berpengaruh besar pada pola perjalanan dan pengeluaran pariwisata di Asia Pasifik. Kedatangan para wisatawan China yang bermalam di seluruh negara Asia Pasifik tercatat melonjak dari 10,5 juta orang pada 2009 menjadi 62,4 juta orang pada 2018.
”Wisatawan China daratan menjelajahi semua sudut wilayah dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini mengubah raksasa yang tertidur menjadi pusat destinasi pariwisata populer,” kata Senior Vice President Data & Services Asia Pasific Mastercard Rupert Naylor.
Meledaknya perjalanan wisman memang menciptakan lahan subur bagi pemerintah, badan pariwisata, serta perusahaan dan bisnis. Namun, ledakan kunjungan itu juga bisa memicu kegiatan pariwisata yang berlebihan (overtourism).
Meledaknya perjalanan wisman memang menciptakan lahan subur bagi pemerintah, badan pariwisata, serta perusahaan dan bisnis. Namun, ledakan kunjungan itu juga bisa memicu kegiatan pariwisata yang berlebihan (overtourism).
Hal itu memunculkan istilah ”cendol” yang menggambarkan kerumunan wisatawan yang memenuhi sebuah kawasan wisata. Potret tersebut antara lain tergambar di situs wisata Goa Pindul, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, yang bisa dikunjungi ratusan hingga ribuan wisatawan per hari saat hari libur.
Dalam banyak pemberitaan, istilah ”cendol” disebut untuk menggambarkan kondisi sungai Goa Pindul yang dipenuhi wisatawan yang menjelajah gua karst itu dengan ban karet.
Fenomena cendol ini juga menjadi masalah bagi salah satu destinasi superprioritas Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, yang dikejar pembangunannya oleh pemerintah lima tahun terakhir. Salah satu masalah itu adalah ”membanjirnya” penyelam di spot wisata situs bawah laut Karang Bolong dan Karang Makassar.
Baca juga: Agar Kita Tak Jadi ”Cendol”
Kedua spot itu biasanya didatangi 100 penyelam-300 penyelam per hari setiap puncak liburan. Memang, di satu sisi, kunjungan wisatawan ke kedua spot itu turut mendongkrak pendapat asli daerah (PAD) Kabupaten Manggarat Barat. Secara keseluruhan, PAD Manggarai Barat meningkat 260 persen pada periode 2013-2017.
Namun, di sisi lain, membuat terumbu karang di dua situs bawah laut itu rusak. ”Ada degradasi berupa penurunan terumbu karang akibat kunjungan wisatawan yang cukup melimpah. Apalagi, proses pertumbuhan terumbu karang butuh waktu lama,” kata Direktur Destinasi Pariwisata Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo Herry Nabit saat ditemui di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Kepala Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM) Janianton Damanik menyatakan, selain di Labuan Bajo, fenomena cendol juga mengancam destinasi wisata alam lain. Di Bandung, Jawa Barat, misalnya; sejumlah daerah di DI Yogyakarta, Pulau Gili di Lombok, Nusa Tenggara Barat; serta Ubud dan Kuta di Bali.
”Banjir” sampah
Tak hanya cendol, sampah juga menjadi pekerjaan rumah pengembangan pariwisata di Indonesia. Bali yang pada tahun ini posisinya menguat sebagai destinasi wisata favorit di Asia Pasifik justru kebanjiran sampah setiap tahun.
Riset APDI Mastercard menunjukkan, posisi Bali terus menguat di antara 20 destinasi tujuan Asia Pasifik teratas pada 2018. Peringkat Bali pada 2018 meningkat menjadi ke-9 dari 2017 yang berada di posisi ke-10. Peringkat itu, antara lain, dihitung dari total jumlah wisatawan yang datang untuk bermalam yang saat ini sebanyak 8,3 juta wisatawan.
Baca juga: Bali Masih Destinasi Favorit di Asia Pasifik
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Bali Partnership pada Januari-Mei 2019, jumlah sampah di Bali tiap hari sebanyak 4.281 ton dan tiap tahun berjumlah 1,5 juta ton. Dari jumlah tersebut, 11 persen di antaranya mengalir hingga ke laut.
Jenis sampah yang mendominasi adalah sampah organik, yaitu 60 persen. Kemudian disusul sampah plastik 20 persen, kertas 11 persen, besi 2 persen, gelas 2 persen, dan sampah lainnya 5 persen. Dari jumlah itu, sampah yang belum terkelola dengan baik sebesar 52 persen.
Di desa pariwisata Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, Misalnya, sampah menjadi ancaman karena faktor kunjungan wisatawan yang membeludak. Berdasarkan data pemerintah daerah setempat, volume sampah di kabupaten seluas 368 kilometer persegi itu bisa mencapai 15.000 meter persegi setiap hari, utamanya karena aktivitas pariwisata.
Tidak mengherankan jika Indonesia mendapat catatan dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) kendati ada kenaikan peringkat daya saing pariwisata pada 2019. Laporan Daya Saing Pariwisata (The Travel & Tourism Competitiveness Report) WEF 2019 menyebutkan, peringkat daya saing pariwisata Indonesia naik dari ke-42 pada 2017 menjadi ke-40 pada 2019 dari 140 negara.
Baca juga: Peringkat Daya Saing Pariwisata Indonesia Naik
Indonesia masih berada di peringkat terendah untuk kategori pilar keberlanjutan lingkungan. Di pilar daya dukung lingkungan pariwisata itu, Indonesia menempati peringkat ke-135 dari 140 negara.
Namun, Indonesia masih berada di peringkat terendah untuk kategori pilar keberlanjutan lingkungan. Di pilar daya dukung lingkungan pariwisata itu, Indonesia menempati peringkat ke-135 dari 140 negara. Skor Indonesia di sektor itu adalah 3,5 dari skor tertinggi 7. Skor itu hanya naik 3 poin dari skor pada 2017.
Kebijakan pemerintah dan kearifan lokal
Untuk memperbaiki pilar keberlanjutan lingkungan yang menjadi tolok ukur daya saing pariwisata, Indonesia perlu bekerja keras. Bauran kebijakan di sektor pariwisata perlu perlu dilakukan dan diterapkan secara tegas.
Kearifan lokal masyarakat juga perlu terus dihidupkan dan digaungkan untuk menopang pariwisata berkelanjutan. Kearifan lokal itu bisa saling mengisi dan menopang kebijakan pemerintah. Masyarakat desa, termasuk juga desa adat, menjadi kunci menjaga daya dukung lingkungan itu.
Janianton Damanik menilai pemerintah terlambat dalam penerapan prinsip wisata berkelanjutan. Di kawasan Taman Nasional (TN) Komodo, misalnya, yang hanya berkapasitas 40.000 turis per tahun, saat ini dikunjungi lebih dari 100.000 turis per tahun.
”Pemerintah sepertinya tutup mata demi mengejar jumlah wisatawan. Praktik pariwisata berkelanjutan itu harusnya bukan embel-embel, melainkan konkret dilakukan sesuai kebijakan yang ada,” tuturnya.
Kendati terlambat, pemerintah setempat mulai membuat kebijakan tegas untuk melindungi daya dukung lingkungan wisata. Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo, misalnya, berencana membatasi kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo.
Mulai 16 September 2019, kunjungan wisatawan ke situs bawah laut Karang Bolong dan Karang Makassar akan dibatasi. Spot Batu Bolong yang biasanya dikunjungi 100 penyelam per hari hanya boleh dikunjungi 31 penyelam.
Herry Nabit mengatakan, perairan di spot Karang Makassar yang biasa diselami 300 penyelam nanti hanya boleh dikunjungi 100 penyelam-150 penyelam.
”Pembatasan kunjungan harus dilakukan meski bulan ini masih menjadi puncak kedatangan wisatawan. Tujuannya demi mencegah memburuknya penurunan daya dukung lingkungan,” ujarnya.
Selain itu, kunjungan wisatawan ke kawasan TN Komodo juga akan dikurangi menjadi 300 orang-400 orang per hari. Sebelumnya, jumlah kunjungan bisa mencapai ribuan wisatawan per hari.
Mulai 1 Januari 2020, pemerintah NTT dan pusat bahkan memutuskan menutup kegiatan wisata di sana selama setahun. Hal itu dilakukan guna menindaklanjuti sejumlah ancaman di TN Komodo, seperti pencurian komodo, perburuan rusa dan babi hutan yang merupakan pakan komodo, hingga perusakan sejumlah ekosistem (Kompas, 31 Juli 2019).
Baca juga: Silang Pendapat Penutupan Taman Nasional Komodo Resahkan Pelaku Pariwisata
Langkah serupa juga telah diterapkan Pemerintah Desa Nglanggeran, Gunung Kindul, DI Yogyakarta, yang terkenal dengan wisata Gunung Api Purba. Daerah wisata minat khusus itu sampai berstrategi mengurangi jumlah kunjungan wisatawan demi mencegah kerusakan hutan akibat aktivitas pariwisata.
Upaya mengurangi kunjungan wisatawan itu dilakukan dengan menaikkan harga tiket masuk ke lokasi wisata hingga dua kali lipat. Akibatnya, jumlah kunjungan wisatawan pada 2017 hanya 151.673 atau turun dari 172.863 kunjungan pada 2016.
Upaya mengurangi kunjungan wisatawan itu dilakukan dengan menaikkan harga tiket masuk ke lokasi wisata hingga dua kali lipat.
Kendati begitu, pendapatan desa tetap tumbuh mencapai lebih dari Rp 2 miliar per tahun. Hal ini karena adanya upaya untuk meningkatkan lama tinggal dan belanja wisatawan. Saat ini, desa itu juga menawarkan wisata edukasi, yang memungkinkan wisatawan menginap beberapa hari untuk merasakan kehidupan bersama warga desa (Kompas, 8/6/2019).
Sementara Desa Adat Padangtegal, Ubud, telah memiliki sistem pengelolaan sampah. Sistem, di desa yang mempunyai obyek wisata Monkey Forest Ubud, itu dibuat atas keputusan desa adat atau pararem (Kompas, 19/7/2019).
Aturan adat itu mengharuskan setiap warga desa adat dan orang yang berada di sana agar menjaga kebersihan lingkungan, sebagai bentuk pemeliharaan palemahan, atau hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan. Atas upaya itu, Desa Pakraman Padangtegal mendapatkan penghargaan sebagai Desa Sadar Lingkungan pada 2017 se-Provinsi Bali.
Aturan adat itu mengharuskan setiap warga desa adat dan orang yang berada di sana agar menjaga kebersihan lingkungan sebagai bentuk pemeliharaan hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan.
Menteri Pariwisata Arief Yahya saat ditemui di Rapat Koordinasi Nasinoal (Rakornas) Pariwisata III di Jakarta mengatakan, pemerintah sudah menjalankan program pembangunan yang berbasis pariwisata berkelanjutan.
”Kita sudah putuskan, semua pembangunan pariwisata harus berbasis pariwisata berkelanjutan yang mengedepankan lingkungan, komunitas, dan ekonomi. Kita adalah negara kedua di Asia yang mengimplementasikan program Sustainable Tourism Observatory (STO),” tuturnya.
Baca juga: Belajar Strategi Meraih Devisa
Indonesia juga telah memiliki peraturan untuk penerapan pariwisata berkelanjutan, yaitu Peraturan Menteri Pariwisata (Permen) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan.
Implementasi pariwisata berkelanjutan perlu menjadi prioritas pemerintah saat ini, sebagaimana diutarakan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro dalam Rakornas Pariwisata III.
”Pemerintah harus mengubah paradigma pariwisata, bukan hanya angka yang dikejar, melainkan juga pengalaman untuk memaksimalkan devisa. Termasuk kapasitas sumber daya manusia, citra pariwisata yang berdaya saing, dan perhatian pada daya dukung lingkungan,” tuturnya.