Petani Kelapa Tak Berdaulat di ”Bumi Nyiur Melambai”
Rendahnya harga kopra saat ini, sekitar Rp 4.500 per kilogram, membuat beberapa petani kelapa di Manado, Sulawesi Utara, beralih memproduksi kelapa butir saja.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Rendahnya harga kopra saat ini, sekitar Rp 4.500 per kilogram, membuat beberapa petani kelapa di Manado, Sulawesi Utara, beralih memproduksi kelapa butir saja. Di sisi lain, petani kelapa yang terikat kontrak ijon dengan pengepul tak punya pilihan selain memproduksi kopra. Hal ini disebabkan oleh industri kelapa di Sulawesi Utara yang masih bergantung pada kopra dan kelapa mentah.
Didi Manopo (46), petani kelapa di Kelurahan Kima Atas, Mapanget, Manado, adalah salah satu yang berhenti memproduksi kopra. Ia beralih menjual kelapa butir saja dari 2 hektar lahan kebun kelapa miliknya yang ditanami sekitar 900 pohon.
”Setahun panen empat kali, setiap panen bisa 10.000 biji. Saya jual Rp 1.350 per butir ke pengepul. Kalau ada pedagang atau orang mau beli untuk konsumsi sendiri, saya jual Rp 1.500,” katanya, Selasa (10/9/2019).
Dua tahun lalu, saya masih bikin kopra karena harganya Rp 11.000 per kg. Sekarang bisa rugi kalau jual kopra. Tempurungnya bisa dimanfaatkan buat arang, tapi paling cuma Rp 10.000 per karung,
Menurut Didi, menjual kelapa per butir jauh lebih menguntungkan daripada mengolahnya menjadi kopra yang bernilai Rp 4.500 per kilogram saat ini. Setiap kilogram, kata Didi, terbuat dari tujuh kelapa. Artinya, dari 10.000 kelapa, penghasilan dari kopra hanya sekitar Rp 6,4 juta setiap panen.
”Dua tahun lalu, saya masih bikin kopra karena harganya Rp 11.000 per kg. Sekarang, bisa rugi kalau jual kopra. Tempurungnya bisa dimanfaatkan buat arang, tapi paling cuma Rp 10.000 per karung,” kata Didi yang tidak terikat kontrak dengan pengepulnya.
Sebaliknya, Nontje Karundeng (49) yang mewarisi 6 hektar lahan kelapa, 3 kilometer dari lahan Didi, hanya bisa pasrah dengan harga kopra yang anjlok. Sebab, ia telah menerima Rp 120 juta dari seorang pengepul kopra untuk menyegel kontrak pasokan selama lima tahun. Artinya, setiap tahun Nontje mendapatkan Rp 24 juta atau Rp 6 juta per masa panen.
”Tawaran itu kami terima saat ibu saya meninggal, butuh uang untuk pemakaman. Kontraknya masih sampai 2022. Padahal, harga kopra Rp 4.500 per kg, lebih murah daripada harga minyak tanah Rp 11.000 per kg buat mengolahnya,” kata Nontje.
Mengetahui harga kopra sekarang, Nontje ingin membeli mesin penggiling untuk membuat minyak kelapa dari daging buah. ”Lumayan, laku Rp 8.000 per botol di pasar. Tapi sekarang, jadi petani kelapa memang merana sekali,” katanya.
Kepala Dinas Perkebunan Sulut Refly Ngantung mengatakan, hal ini disebabkan oleh ketergantungan petani terhadap industri kelapa dan tengkulak. Pembayaran ijon memaksa petani terus-menerus memproduksi kopra kendati harganya tidak kompetitif. Hal ini menyebabkan petani kehilangan kedaulatan.
Sebagai jalan keluar, Dinas Perkebunan Sulut mendorong petani kelapa untuk mau membentuk kelompok-kelompok agar memudahkan koordinasi. Selanjutnya, akan dibuat korporasi petani sesuai dengan program Perkebunan 500 Juta Batang (BUN500) Kementerian Pertanian yang dimulai Agustus lalu selama lima tahun ke depan.
”Baru terbentuk 11 kelompok petani kelapa. Lima kelompok dibentuk di Minahasa Utara, sementara Minahasa, Minahasa Selatan, dan Minahasa Tenggara sudah punya masing-masing dua kelompok,” kata Refly
Nantinya, korporasi petani akan dibentuk di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi. Refly mengatakan, korporasi akan memberikan kekuatan bagi petani dalam berbagai aspek, termasuk mengendalikan pasar. Jika harga satu produk kelapa sedang rendah, petani bisa kompak menahan produksi.
”Tukar informasi, teknologi, hingga penyaluran dana kredit usaha dari bank akan lebih efisien. Perusahaan juga tidak perlu mencari petani secara perorangan untuk mendapatkan pasokan bahan baku,” kata Refly.
Total luas lahan kelapa di Sulut selama semester II-2018 adalah 275.596 hektar. Lahan produksi mencapai 217.869 hektar. Adapun total produksi mencapai 302.329 ton kopra, setara dengan 1,3 ton per hektar.
Diversifikasi industri
Sulut adalah penghasil kelapa dan kopra terbesar di Indonesia. Menurut Refly, rendahnya harga kopra saat ini disebabkan oleh kualitas bibit yang rendah. Program BUN500 akan menyediakan 500 juta bibit unggul pertanian demi meningkatkan daya saing.
Di sisi lain, Refly mengamati industri yang hanya berfokus pada ekspor kopra dan memproduksi turunan kopra. Padahal, bagian lain buah kelapa juga bisa dimanfaatkan, misalnya sabut kelapa menjadi serat sabut kelapa yang berguna untuk bahan dasar jok mobil.
”Kalau petani dipaksa terus menghasilkan kopra, ini pertanda industri tidak berpikir untuk membuat produk lain dari kelapa. Padahal, setiap bagian buah kelapa bisa dijadikan produk turunan,” katanya.
Menurut data Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Sulut, 7.100 ton kopra Sulut diekspor ke Filipina selama Januari-Juni 2019. Ini sudah melebihi 4.056 ton pada 2018 dan 4.550 ton pada 2017.
Kalau petani dipaksa terus menghasilkan kopra, ini pertanda industri tidak berpikir untuk membuat produk lain dari kelapa. Padahal, setiap bagian buah kelapa bisa dijadikan produk turunan.
Adapun 19 perusahaan di industri kelapa Sulut hanya memproduksi produk turunan dari kopra dan daging buah kelapa, seperti tepung kelapa, minyak goreng nabati, dan minyak kelapa kasar. Hanya dua perusahaan yang memproduksi arang dari tempurung kelapa.
Kepala Seksi Industri Agro, Hasil Hutan, dan Promosi Industri Disperindag Sulut Tutty Saerang mengatakan, saat ini baru ada dua perusahaan yang mengolah sabut kelapa menjadi serat sabut kelapa. ”Di Bitung dan Minahasa Utara, tapi keberlanjutannya belum diketahui,” katanya.
Berbeda dengan Refly, Tutty mengatakan, petani belum mengetahui manfaat dari bagian lain buah kelapa. Karena itu, bimbingan teknis bagi para petani dilaksanakan beberapa kali.