JAKARTA, KOMPAS--Pangsa pasar telepon seluler pintar merek lokal cenderung merosot setiap tahun. Penyebabnya, persaingan fitur teknologi yang kiat ketat, harga jual, dan jaringan distribusi.
Analis Pasar International Data Corporation (IDC) Indonesia Risky Febrian, Selasa (17/9/2019), di Jakarta, mengemukakan, berdasarkan temuan riset IDC, pangsa pasar ponsel pintar gabungan merek lokal, dari sisi volume, pada 2017 sebesar 16 persen. Namun, pada akhir 2018 anjlok menjadi sekitar 10 persen.
Temuan riset IDC pada triwulan II-2019, pangsa pasar ponsel pintar gabungan merek lokal hanya tinggal 5,8 persen. Pada periode ini, ada lima merek lokal yang memiliki andil pada pangsa pasar tersebut. Dari lima merek itu, tiga yang terbesar adalah Advan, Evercoss, dan Mito.
Strategi pemasaran Evercoss adalah menawarkan paket pembelian ponsel sekaligus layanan seluler dari salah satu operator telekomunikasi. Sementara, Mito tetap mengembangkan ponsel pintar sekaligus berekspansi inovasi ke produk elektronik lain.
"Dari temuan riset 2018, jumlah merek lokal yang beredar di pasar masih di atas 10 merek," ujarnya.
Menurut Risky, peta persaingan antar merek global semakin ketat. Pada triwulan II-2019, sekitar 80 persen pangsa pasar ponsel pintar di Indonesia dikuasai lima merek global, yaitu Samsung, Oppo, Vivo, Xiaomi, dan Realme.
Tekanan kompetisi ketat juga terjadi di kategori ultra low-end atau ponsel pintar seharga kurang dari 100 dollar AS. Dengan harga jual itu, merek global asal China juga menawarkan fitur teknologi canggih.
"Tren sekarang, konsumen mencari ponsel pintar yang bisa dipakai bermain gim, harga terjangkau, dan fitur lengkap. Merek global, seperti asal China, mampu memenuhi kebutuhan itu. Sementara merek lokal susah mengejar tren itu," tambah Risky.
Jaringan distribusi merek global juga semakin kuat ke berbagai kabupaten dan kota. Risky menuturkan, dua tahun lalu merek lokal masih mempunyai jaringan kuat, tetapi sekarang berkurang.
Dari sisi pengiriman, Risky mengakui, pertumbuhan tahunan cukup tipis. Hal ini disebabkan periode pemakaian ponsel menjadi lebih lama, yaitu di atas 2 tahun.
"Secara umum, pasar bisa dikatakan lesu. Kondisi pertumbuhan ponsel pintar semakin lesu," tambahnya.
Produksi
Associate General Manager Business Development PT Hartono Istana Teknologi (Polytron), Joegianto, menceritakan, sejak 2018 sampai dengan awal 2019, manajemen memutuskan untuk menyusun kembali produksi ponsel pintar ke produk elektronik yang menjadi inti bisnis perusahaan. Dia mengklaim, tidak ada pemutusan hubungan kerja sebagai dampak dari keputusan itu.
"Menjelang 2018, kami mengamati kompetisi ponsel pintar 4G di pasar Indonesia semakin ketat dan merek lokal akan susah melawan merek global yang mempunyai kemampuan kuat di teknologi. Para insinyur teknologi kami masih tetap ada," tutur dia.
Director of Marketing and Communications PT Erajaya Swasembada Tbk, Djatmiko Wardoyo, menuturkan, perusahaan memutuskan tidak lagi menjual ponsel pintar merek lokal. Stok yang masih ada akan dihabiskan hingga akhir tahun.
Erajaya Swasembada adalah importir, distributor, dan penjual kembali gawai. Terkait bisnis ritel, Erajaya mengelola sejumlah merek gerai, di antaranya Xiaomi Mi Store, iBox, dan Samsung Experience Center. Erajaya juga mempunyai gerai multimerek, seperti Erafone dan Urban Republic.
"Rata-rata pengeluaran per konsumen kami di atas Rp 3 juta. Untuk gerai-gerai ritel di kabupaten/kota kelas dua dan tiga, kebanyakan konsumen kami membeli ponsel pintar Android dengan rentang harga Rp 2 hingga Rp 4 juta per unit dengan metode pembayaran tunai atau kredit dari perusahaan lembaga pembiayaan," ujar dia.
Kepala Pusat Mikroelektronika Institut Teknologi Bandung Adi Indrayanto, yang dihubungi terpisah, mengungkapkan, produksi ponsel pintar merek global biasanya mencapai jutaan unit sehingga ongkos produksi bisa ditekan. Pemilik merek asing berskala besar, seperti Samsung, Oppo, dan Vivo, juga mempunyai kemampuan desain dan dana investasi riset yang kuat.
Sementara, produksi lokal cenderung sedikit dan umumnya tidak memiliki rumah desain sendiri. "Permasalahan pemilik merek lokal lainnya adalah mereka tidak mampu mengembangkan strategi ke pasar terbatas dengan fitur-fitur teknologi khusus," kata dia. (MED)