Misi pemerintah mengembalikan kejayaan rempah di Kepulauan Maluku mulai dilakukan dengan merehabilitasi tanaman pala dan cengkeh.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS - Misi pemerintah mengembalikan kejayaan rempah di Kepulauan Maluku mulai dilakukan dengan merehabilitasi tanaman pala dan cengkeh. Sejak tahun 2017, luas areal yang direhabilitasi mencapai 14.050 hektar dengan penanaman 1,4 juta anakan pala dan cengkeh. Petani pun berharap, ada regulasi yang mengatur harga komoditas itu agar tidak terus-terusan anjlok.
Menurut data yang dihimpun Kompas dari Dinas Pertanian Provinsi Maluku pada Rabu (25/9/2019), areal tanaman pala yang direhabilitasi mencapai 12.000 hektar dengan penanaman 1,3 juta anakan baru. Adapun rehabilitasi cengkeh 2.050 hektar dengan anakan baru sebanyak 165.750.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Provinsi Maluku MP Pattinama mengatakan, program rehabilitasi itu merupakan upaya untuk mengembalikan kejayaan rempah di Maluku. Pala dan cengkeh di Kepulauan Maluku menjadi alasan kehadiran pedagang dari China, Arab, dan Eropa. Nusantara pun dijajah. Banyak kota di Eropa dibangun dari hasil monopoli perdagangan rempah di Maluku.
Namun, seiring waktu setelah harga rempah dunia jatuh, pamor rempah pun meredup. Harga rempah sempat membaik pada era awal reformasi pun kembali terbenam. "Faktor itu yang membuat motivasi petani untuk menanam dan merawat cengkeh dan pala berkurang. Banyak tanaman yang tidak terurus. Petani rempah beralih jadi nelayan, bekerja serabutan, dan merantau ke luar Maluku," katanya.
Hingga akhir 2018, areal tanaman pala di Provinsi Maluku seluas 32.456 hektar dengan produksi pala mencapai 28.705 ton. Adapun produksi pala nasional sebesar 244.028 ton. Sementara itu, luas areal tanaman cengkeh di Maluku adalah 44.163 hektar dengan jumlah produksi 72.473 ton. Adapun produksi cengkeh secara nasional adalah 1,05 juta ton.
Faktor itu yang membuat motivasi petani untuk menanam dan merawat cengkeh dan pala berkurang. Banyak tanaman yang tidak terurus. Petani rempah beralih jadi nelayan, bekerja serabutan, dan merantau ke luar Maluku, kata Pattinama
Lantaran tidak dirawat dan tidak diregenerasi, tanaman pala dan cengkeh yang masuk kategori tanaman tidak menghasilkan semakin banyak. Per tahun 2018, tanaman pala yang tak bisa lagi menghasilkan seluas 1.559 hektar dan cengkeh 3.412 hektar. "Oleh karena itu, program ini bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat petani. Sebab, petani merupakan ujung tombak dalam mewujudkan kejayaan rempah," kata Pattinama.
Program rehabilitasi dimaksud dianggarkan oleh pemerintah Provinsi Maluku dan Kementerian Pertanian. Dalam pelaksanaanya, pemerintah daerah dibantu oleh TNI Angkatan Darat untuk pembibitan dan distribusi serta pihak kejaksaan dan kepolisian digandeng untuk membantu melakukan monitoring. Hal itu untuk mencegah terjadinya penyelewengan.
Menurut catatan Kompas, upaya untuk mengembalikan kejayaan rempah itu dideklarasikan di Ambon pada Oktober 2017 oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Gubernur Maluku saat itu Said Assegaff, dan Panglima Kodam XIV/Pattimura saat itu Mayor Jenderal Doni Monardo. Wacana mengembalikan kejayaan rempah didengungkan Doni yang terlebih dahulu membagikan puluhan ribu anakan pala dan cengkeh secara gratis kepada petani di Maluku lewat program Emas Hijau.
Pattinama mengatakan, hasil dari program rehabilitasi itu sudah mulai dirasakan 7 tahun mendatang. Produksi pala dan cengkeh di Maluku diperkirakan akan naik. Hal ini menjadi modal bagi tumbuhnya industri pengolahan rempah di Maluku. Selama ini, rempah dari Maluku diekspor. Itu pun melalui pelabuhan di Pulau Jawa.
Kembalikan nama Maluku
Emilia Jempot (43), petani pala di Pulau Banda yang dihubungi melalui telepon berharap, pemerintah dapat mengambil kebijakan yang melindungi petani rempah. Perlindungan yang dimaksud adalah harga yang tidak merugikan petani. Harga biji pala sempat naik hingga Rp 100.000 per kilogram kini terbenam pada level Rp 60.000 per kilogram. Adapun harga cengkeh yang sempat pada kisaran Rp 120.000 per kilogram kini anjlok hingga Rp 70.000 per kilogram.
Petani kini terhibur dengan harga bunga pala atau fuli yang melonjak hingga Rp 235.000 per kilogram. Sempat naik hingga Rp 215.000 per kilogram tahun 1999, harga bunga pala lalu anjlok lagi hingga menyentuh Rp 100.000 per kilogram. Dalam satu tahun terakhir terus naik menjadi Rp 235.000 per kilogram.
Selasa lalu, Ketua Dewan Rempah Maluku Djalaludin Salampessy berharap pemerintah daerah dapat memfasilitasi hadirnya industri pengolahan pala pascapanen di Maluku sehingga dapat melakukan ekspor langsung. Selain membuat harga jual dari petani semakin tinggi, ekspor langsung dari Maluku juga akan mengangkat kembali nama Maluku sebagai sentra rempah-rempah di dunia. "Seperti pala dari Banda itu kualitas terbaik di dunia," katanya.