JAKARTA, KOMPAS — Kalangan dunia usaha menilai, diperlukan peta jalan transformasi industri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu mengikuti perkembangan teknologi. Praktik terbaik dalam menyiapkan sumber daya manusia di negara lain dapat jadi rujukan.
”Negara-negara lain sudah mulai bergerak menyiapkan transformasi industri yang diikuti juga transformasi sumber daya manusia,” kata Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam, Kamis (26/9/2019).
Bob mencontohkan Singapura yang membentuk Komite Transformasi Industri yang beranggotakan menteri bidang perindustrian, menteri tenaga kerja, menteri pendidikan, dan melibatkan pelaku industri. Mereka lebih dulu menentukan industri yang akan bertransformasi. ”Setelah dipilih industrinya, mereka membuat peta jalan transformasi industri. Dari peta jalan itu diturunkan pekerjaan-pekerjaan apa yang akan hilang dan yang akan muncul,” ujar Bob.
Berdasarkan data itu, ditentukan universitas atau lembaga pelatihan kerja yang akan menyiapkan transformasi SDM. Pemerintah juga menyiapkan dana mitigasi.
Di Indonesia, tambah Bob, Kementerian Perindustrian sudah menentukan lima sektor prioritas untuk penerapan industri 4.0. Peta jalan industri 4.0 di Indonesia memilih lima sektor prioritas, yakni industri makanan dan minuman, tekstil, otomotif, kimia, dan elektronika.
”Itu saja tinggal dilanjutkan. Nanti ditambah dengan keterlibatan Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan, dan semua pemangku kepentingan, termasuk Kadin dan Apindo. Kemenkeu juga menyiapkan anggaran,” kata Bob.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri Indonesia Anton J Supit menyampaikan, sistem vokasi yang berjalan baik menjadi kunci penyiapan tenaga terampil atau berkompetensi tinggi.
Menurut Anton, kekuatan ekonomi Jerman, yang antara lain tergambar dari kemampuannya bertahan sebagai eksportir nomor tiga dunia, tidak lepas dari sistem vokasi yang terstruktur dan rapi di negara tersebut.
Di Jerman ada lembaga BIBB yang melakukan studi, membuat kebijakan, dan mengevaluasi perjalanan sistem vokasi nasional. Pelaksanaannya dilimpahkan kepada Kadin Jerman. Biaya vokasi di Jerman yang berasal dari pengusaha pada 2018 mencapai 25 miliar euro atau sekitar Rp 400 triliun. ”Akan tetapi, karena sistem berjalan baik, sekitar 75 persen uang yang dikeluarkan pengusaha kembali dengan sistem pemagangan,” ujar Anton.
Dia mengatakan, ketika sistem pemagangan diatur secara tepat, peserta vokasi tidak menganggur di pabrik, tetapi bekerja meskipun tidak penuh. Pola vokasi menganut porsi 70 persen praktik di industri dan 30 persen teori yang menunjang kompetensi. (CAS)