Pemerintah dinilai harus mampu mengelola dan memberdayakan modal sumber daya manusia. Reformasi sistem pendidikan nasional dibutuhkan untuk menciptakan lulusan yang siap memasuki dunia kerja pada era Industri 4.0.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai harus mampu mengelola dan memberdayakan modal sumber daya manusia. Reformasi sistem pendidikan nasional dibutuhkan untuk menciptakan lulusan yang siap memasuki dunia kerja pada era Revolusi Industri 4.0.
Kurikulum pendidikan dipandang perlu direvisi dengan prioritas menambah bobot dan frekuensi pelajaran terkait teknologi informasi, komputer, dan komunikasi. ”Bobot pelajaran bahasa asing—seperti Bahasa Inggris, Perancis, dan Mandarin—juga harus ditambah,” kata Ketua Departemen Lobby dan Hubungan Masyarakat Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Andy William Sinaga ketika dimintai pandangan di Jakarta, Minggu (29/9/2019).
Usulan mengenai langkah yang perlu diambil pemerintah tersebut terkait dengan analisis McKinsey mengenai posisi pekerjaan di Indonesia yang bakal hilang ataupun pekerjaan baru yang akan dapat diciptakan pada masa mendatang.
Seperti diberitakan Kompas, Kamis (26/9/2019) pekan lalu, hasil riset global oleh McKinsey & Company yang menganalisis dampak teknologi terhadap ekonomi, bisnis, dan masyarakat dirilis di Jakarta. Fokus hasil riset pada implikasi penerapan otomasi di Indonesia.
Disebutkan, antara lain, sebanyak 23 juta pekerjaan di Indonesia yang bakal digantikan proses otomasi pada 2030. Di sisi lain, pada kurun waktu sama, ada 27 juta-46 juta pekerjaan baru dapat diciptakan. Peluang dapat dioptimalkan apabila tenaga kerja di Indonesia mempunyai keterampilan baru.
Menurut Andy, pemerintah perlu menentukan sektor potensial, sebagai penggerak sektor-sektor lainnya, yang dapat menghela teori McKinsey tersebut. Badan Ekonomi Kreatif dinilai perlu diubah menjadi setingkat kementerian agar dapat ikut membuat kebijakan penciptaan lapangan kerja berbasis ekonomi kreatif dan inovasi teknologi.
”Perlu ada koordinasi intensif antara pemerintah pusat dan daerah dengan mempersingkat birokrasi untuk mendukung penciptaan lapangan kerja tersebut,” kata Andy.
Andy menuturkan, pemerintah pun diharapkan membuat peta jalan untuk menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang kreatif, inovatif, dan berdaya saing tinggi.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri Indonesia Anton J Supit mengatakan, pihaknya masih mempertanyakan potensi surplus pekerjaan di Indonesia nantinya.
”Pendapat saya pribadi, dengan teknologi yang sedemikian pesat di mana penggunaan tenaga manusia makin berkurang tergantikan digitalisasi, robotik, dan lain-lain, saya masih mencari apa betul nanti akan terjadi surplus?” kata Anton.
Anton mengatakan dirinya merujuk pernyataan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde yang sekitar setahun lalu memimpin rapat gabungan IMF dan Bank Dunia di Washington.
”Saya masih ingat dia mengatakan bahwa ada kerisauan angkatan muda AS akan terancam kehilangan pekerjaan. Kalau angkatan muda AS yang relatif terdidik dan tidak ketinggalan di sisi penguasaan IT saja khawatir kehilangan pekerjaan, apakah bisa Indonesia malah surplus pekerjaan. Ini yang coba saya argue,” kata Anton.
Terlepas hal tersebut, Anton mengatakan, sistem vokasi yang berjalan baik menjadi kunci penyiapan tenaga terampil atau berkompetensi tinggi di Indonesia.
Sementara itu, terkait peta jalan transformasi industri, Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menilai tinggal melanjutkan saja peta jalan Industri 4.0 yang telah disusun pemerintah melalui program Making Indonesia 4.0. (CAS)