JAKARTA, KOMPAS--Perkembangan industri benda terhubung internet nasional masih terkendala sertifikasi perangkat. Kemampuan laboratorium uji di dalam negeri yang terbatas menjadi hambatan untuk proses sertifikasi tersebut.
Benda terhubung internet atau internet of things (IoT), sesuai definisi Uni Telekomunikasi Internasional (ITU), adalah infrastruktur informasi yang memungkinkan layanan canggih berbasis teknologi informasi komunikasi (TIK) -yang sudah ada atau sedang berkembang- dapat dioperasikan. Ada banyak perangkat yang dapat digunakan untuk keperluan IoT, mulai dari teknologi pengenal frekuensi radio (RFID), wi-fi, bluetooth, telekomunikasi satelit, telekomunikasi seluler, dan teknologi low power wide area network (LPWA). LPWA dibagi menjadi dua, yaitu digerakkan jaringan teknologi akses selular dan nonseluler.
Sekretaris Jenderal Asosiasi IoT Indonesia, Fita Maulani, Minggu (13/10/2019), di Jakarta, menjelaskan, perangkat pendukung IoT, baik impor maupun yang diproduksi di dalam negeri, harus disertifikasi Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Namun, menurut dia, tidak semua balai pengujian perangkat telekomunikasi menyediakan kemampuan uji yang dibutuhkan perangkat pendukung IoT.
Selain itu, tambah Fita, peralatan penguji dan tim terbatas yang menyebabkan proses pengajuan sertifikasi harus antre. Apalagi, jika bersamaan dengan peluncuran gawai baru, waktu pemrosesan pengujian bisa semakin lama.
"Dampak mengantongi sertifikat adalah perangkat pendukung IoT menjadi resmi. Jika aplikasi rusak atau tidak bisa melakukan pembaruan sistem, ada penjelasan dan perbaikan," ujar dia.
Fita menuturkan, saat ini di pasaran sudah beredar perangkat pendukung IoT tanpa sertifikasi Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika. Perangkat ini dijual bebas, baik di toko fisik maupun dalam jaringan. Kondisi ini mesti diperhatikan pemerintah.
Sejauh ini, untuk mengatasi keterbatasan kemampuan laboratorium uji, lanjut dia, pemerintah mendorong swasta mengembangkan sendiri. Teknologi yang dibutuhkan pengujian harus mengikuti standar internasional. Namun, membangun laboratorium uji perlu investasi besar.
Tumbuh cepat
General Manager IoT Smart Connectivity PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) Alfian Manullang menambahkan, ada sejumlah kebijakan yang perlu dibuat pemerintah agar industri IoT tumbuh lebih cepat. Ia mencontohkan, industri elektronik dalam negeri mesti ditumbuhkan agar perangkat IoT dapat diproduksi sendiri sehingga mengurangi ketergantungan impor. Selain itu, perlu diberikan insentif bagi pembuat solusi IoT, misalnya keringanan pajak impor komponen. Yang tak kalah penting, kolaborasi antarpelaku industri, pemerintah, dan instansi pendidikan dijalin agar suplai tenaga kerja yang siap menghadapi teknologi IoT semakin banyak.
"Industri perangkat keras penyokong IoT baru muncul di dalam negeri, sehingga pemerintah perlu turut serta menumbuhkan. Kalau akan gencar menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI), pemerintah disarankan menerapkan secara bertahap," ujar dia.
Alfian menceritakan, Telkomsel mulai berbisnis IoT sejak akhir 2014. Bisnis IoT perusahaan terdiri dari penyedia konektivitas cerdas dan penyedia jasa. Sebagai penyedia konektivitas cerdas, Telkomsel menawarkan layanan yang menghubungkan peralatan IoT yang telah dilengkapi perangkat lunak komputasi awan ke Telkomsel IoT Control Center. Hal ini memudahkan pemantauan performa perangkat.
Sementara, sebagai bisnis penyedia jasa, Telkomsel menyodorkan penjualan perangkat keras IoT, instalasi, dasbor dan aplikasi, serta analisa. Perusahaan juga melayani purna jual.
Direktur Standardisasi Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Mochamad Hadiyana, saat dikonfirmasi, menjelaskan, IoT yang menggunakan RFID, wi-fi, bluetooth, satelit, seluler dan LPWA Nonseluler sudah bisa diuji dan disertifikasi. Pengujiannya mencakup parameter frekuensi radio (RF), kompatibilitas elektromagnetik (EMC), serta keamanan listrik dan aliran data untuk keamanan.
Saat ini sudah ada sekitar 200 laboratorium uji luar negeri yang hasilnya sudah diakui oleh Surat Keputusan Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kemkominfo.
Berdasarkan laporan riset Internet of Things: The Pillar of Artificial Intelligence yang dirilis DBS Asian Insights pada Juni 2018, adopsi IoT di Asia Pasifik diperkirakan mencapai 18-20 persen pada 2019. Titik laju adopsinya mulai meningkat. Solusi IoT digunakan konsumen segmen industri, antara lain energi dan pertambangan, transportasi, serta manufaktur.
Laporan itu juga memperkirakan, akan ada lebih dari 8,6 miliar perangkat terhubung di Asia Pasifik, tidak termasuk Jepang, pada 2020. Jumlah ini berkontribusi sekitar 29 persen dari proyeksi total IoT di global. (MED)