Kemajuan industri transportasi dan logistik dapat menunjang peningkatan investasi serta mendongkrak ekspor. Pemerintah dan dunia usaha mutlak bersinergi dalam menumbuhkan perekonomian melalui jalur tersebut.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO / ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan industri transportasi dan logistik dapat menunjang peningkatan investasi dan mendongkrak ekspor. Pemerintah dan dunia usaha mutlak bersinergi dalam menumbuhkan perekonomian melalui jalur tersebut.
”Hari-hari ini kita dihadapkan pada situasi penuh persaingan karena titik kumpul internasional pada dunia aviasi dan dunia maritim belum bergeser ke Indonesia,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Rabu (16/10/2019), di Jakarta.
Budi Karya menyampaikan hal itu dalam pembukaan pameran Indonesia Transportation, Supply Chain, and Logistic (ITSCL) 2019 di Jakarta International Expo, Kemayoran.
Budi menambahkan, pemerintah mengajak Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia serta asosiasi untuk bersama-sama memajukan industri transportasi dan logistik.
”Saya mengimbau Kadin untuk bicara lebih detail, berdiskusi dengan operator dan sebagainya, sehingga kita bahu-membahu, termasuk dalam meningkatkan ekspor,” kata Budi.
Pemerintah, tambah Budi, juga ingin membuat sejumlah kemudahan demi meningkatkan daya saing usaha sehingga investor berminat masuk ke Indonesia.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro menuturkan, penghambat pertumbuhan ekonomi antara lain regulasi yang terlalu rumit dan institusi yang masih lemah.
”Problem terbesar di regulasi, baik yang membuat perizinan terlalu lama maupun terlalu rumit,” katanya.
Bambang menuturkan, pada awal periode kedua masa pemerintahan Presiden Joko Widodo nanti, persoalan terkait regulasi dan institusi diyakini akan menjadi perhatian utama.
”Untuk disederhanakan, dimudahkan, dan intinya lebih ramah investor,” katanya.
Isu lain adalah aspek keterbatasan infrastruktur dan konektivitas. Oleh karena itu, infrastruktur akan diperhatikan dalam lima tahun mendatang dan masih menjadi prioritas belanja serta investasi pemerintah.
Stok infrastruktur Indonesia 43 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Padahal, standar negara maju dan negara berkembang rata-rata 70 persen terhadap PDB. Indonesia kalah dari India yang stok infrastrukturnya 58 persen terhadap PDB dan Afrika Selatan yang 87 persen terhadap PDB.
Bambang menambahkan, kinerja logistik Indonesia di posisi ke-46, kalah dari Thailand (32), Vietnam (39), dan Malaysia (41). Indonesia hanya lebih baik dari Filipina (60).
”Biaya logistik kita juga masih tinggi. Data terakhir menunjukkan biaya logistik kita terhadap PDB masih 24 persen. Kalau biaya logistik masih 24 persen, susah melakukan investasi baru di Indonesia,” ujar Bambang.
Daya saing
Muatan balik dari wilayah timur Indonesia, baik melalui transportasi darat maupun laut, hanya sekitar 20 persen dari muatan yang dibawa dari wilayah barat. Contohnya, jika sebuah truk berkapasitas 10 ton membawa barang dengan muatan penuh dari Pulau Jawa ke Pulau Papua, muatan yang dibawa kembali hanya 2 ton.
Akibatnya, biaya logistik menjadi lebih mahal. Kondisi ini menurunkan daya saing barang atau komoditas tertentu.
”Solusi jangka panjangnya, pemerintah daerah harus mampu meningkatkan volume komoditas untuk diangkut transportasi logistik. Caranya yakni dengan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi atau mengembangkan industri lokal baru,” kata Chairman Supply Chain Indonesia Setijadi di sela-sela seminar ”Membangun Rantai Pasok Nasional Terintegrasi Berbasis Platform Logistik 4.0” di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Rabu.
Seminar itu membuka Supply Chain and Logistic Series 2019 yang digelar pada November.
Ketua Umum Badan Kejuruan Teknik Industri-Persatuan Insinyur Indonesia Made Dana Tangkas mengatakan, Indonesia belum memiliki data akurat dan terintegrasi terkait manajemen rantai pasok. Akibatnya, benang kusut persoalan yang bermuara pada biaya logistik yang tinggi sulit terurai. (CAS/ERK)