JAKARTA, KOMPAS — Direktur UNI Global Union Asia Pasifik Kun Wardana Abiyoto, Jumat (18/10/2019), di Jakarta, berpendapat, keberadaan balai latihan kerja (BLK) dapat membantu meningkatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia yang masih didominasi lulusan sekolah menengah ke bawah. Caranya, pekerja kelompok tersebut dilatih agar keterampilannya sesuai dengan kebutuhan industri.
Menurut dia, upaya pemerintah merevitalisasi sejumlah BLK daerah sudah bagus. Apalagi, pemerintah juga mengemas ulang pendekatan pengembangan BLK yang lebih aktif menyesuaikan dengan tren pasar tenaga kerja.
”Hal terpenting adalah kurikulum pengajaran di BLK diubah. Kalau kurikulumnya selalu diperbarui mengikuti kebutuhan pasar, dampaknya adalah lulusan mudah terserap industri,” ujar Kun.
Dia berharap, kebijakan ketenagakerjaan pada lima tahun mendatang dijalankan lebih sinergis. Sinergi ini tidak hanya menyangkut pengelolaan BLK, melainkan ekosistem ketenagakerjaan secara menyeluruh.
Ia mencontohkan, kementerian/lembaga saling bekerja sama membangun sistem ketenagakerjaan yang di dalamnya berisi profil angkatan kerja, suplai, dan permintaan lapangan kerja. Pemetaaan kebutuhan tersebut untuk memperoleh gambaran sejauh mana kesenjangan pekerja yang harus memperoleh pelatihan.
Berdasarkan data pengukuran Badan Pusat Statistik, tingkat pengangguran terbuka per Februari 2019 mencapai 5,01 persen terhadap partisipasi angkatan kerja Indonesia. Tingkat pengangguran ini membaik dibandingkan dengan kondisi Februari 2018 sebesar 5,13 persen. Jumlah penganggur berkurang 50.000 dari 6,87 juta pada Februari 2018 menjadi 6,82 juta pada Februari 2019.
Ekonom di Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, yang dihubungi secara terpisah, menyebutkan, ada tren penurunan tingkat pengangguran terbuka. Sekitar dua dasawarsa sebelumnya, tingkat pegangguran terbuka Indonesia di atas 10 persen dan angka penurunannya besar. Namun, kini, tingkat pengangguran terbuka cenderung bergerak turun di bawah 6 persen dan angka penurunannya kecil atau bisa disebut juga melambat.
Kondisi tersebut semestinya membutuhkan penanganan berbeda. Cara lama mengatasi tingkat pengangguran terbuka, seperti mengucurkan dana sosial dan gencar membuka sektor industri padat karya, akan kurang relevan.
Pemerintah diharapkan fokus menangani dengan menitikberatkan di persoalan struktural ketenagakerjaan. Misalnya, lebih dari 58 persen angkatan kerja lulusan sekolah menengah pertama dan sekolah dasar. Seiring tren Revolusi Industri 4.0, pabrik kemungkinan besar mengadopsi otomasi. Akibatnya, pekerja berlatar belakang pendidikan rendah dan keterampilan terbatas akan terkena imbas utama. Mereka tidak akan mudah beralih bidang pekerjaan.
Permasalahan struktural ketenagakerjaan lainnya adalah porsi pengangguran terbesar berasal dari pekerja lulusan sekolah menengah kejuruan dan perguruan tinggi. Hal ini juga tidak boleh diabaikan.
”Ketika pemerintah memutuskan salah satu fokus pada pembangunan 2020-2024 adalah sumber daya manusia, harus diingat bahwa dampaknya tidak akan langsung. Pemerintah juga diharapkan semakin adaptif terhadap perubahan yang terjadi di pasar ketenagakerjaan,” ujar Ahmad.
E-dagang
Ketua Departemen Ekonomi Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, keberadaan platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang membantu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) meraih pasar lebih luas dan mendapat pasokan bahan baku dengan cara lebih efisien. Temuan itu berdasarkan hasil studi akademik yang dia lakukan menyasar 1.100 pelaku UMKM di Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, dan Banten. Sebelumnya, mereka berjualan barang dengan cara tradisional. (MED)