Sekian lama sektor industri menjadi motor utama penggerak perekonomian Indonesia. Tak berlebihan jika banyak harapan ditumpukan ke sektor ini, baik untuk mengoptimalkan beragam potensi maupun untuk menyelesaikan berbagai masalah di negeri ini.
Di sisi potensi sumber daya alam, Indonesia adalah negeri kaya. Mineral tambang melimpah di Tanah Air. Tidak semua negara di dunia punya kayu dan rotan seperti Indonesia.
Posisinya yang diapit dua samudra dengan perairan laut sebagai bagian terbesar atau dua pertiga wilayahnya juga memberikan anugerah kekayaan maritim. Masih banyak potensi lain yang menanti diolah agar bernilai tambah dan bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menyejahterakan warga bangsa.
Berbagai kebutuhan penduduk Indonesia yang jumlahnya sekitar 260 juta jiwa jelas menciptakan pasar. Pelaku industri ditantang untuk mengisinya. Pasar menggiurkan yang tak pelak diincar bukan hanya oleh produsen dalam negeri, melainkan juga produsen dari luar negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, 6,82 juta orang di Indonesia masih menganggur pada Februari 2019. Mereka tentu memerlukan lapangan pekerjaan. Peran pelaku industri di sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja juga dibutuhkan dengan mempertimbangkan keterbatasan serapan, antara lain aparatur sipil negara.
Menimbang hal tersebut, mari kita mencoba untuk menjawab deretan pertanyaan berikut. Sudahkah iklim bisnis di Indonesia mendukung dunia usaha? Mudahkah mengurus prosedur perizinan untuk memulai usaha di negeri ini?
Mengapa keinginan pelaku industri di berbagai sektor yang mendambakan harga gas industri yang lebih kompetitif, yakni sekitar 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU), sampai kini tak kunjung terealisasi? Padahal, harga gas industri yang kompetitif ini sudah disampaikan pemerintah melalui Paket Kebijakan Ekonomi III yang telah dituangkan dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2016. Tiga tahun lalu!
Mengapa hingga paruh pertama 2019 ini pelaku industri galangan kapal dalam negeri masih mengeluhkan suku bunga bank tinggi, 11-13 persen, di negeri ini? Adapun industrialis kompetitor di China bisa menikmati suku bunga 5-6 persen dan di Jepang bahkan 1-2 persen.
Suku bunga bank yang tinggi merupakan keluhan klasik yang kerap terdengar di berbagai sektor industri lain. Lembaga Pembiayaan Pembangunan Industri yang aturan pembentukannya diamanatkan dalam Undang-Undang No 3/2014 tentang Perindustrian hingga kini juga belum terwujud.
Bagaimana industri bisa bersaing kalau sejak akan mengawali usaha dan berproduksi, pelaku industri dalam negeri sudah terengah-engah kepayahan? Semua ini harus menjadi pengingat bagi seluruh pemangku kepentingan bahwa industri tidak bisa jalan sendiri.
Kesempatan
Industri tidak boleh dibangun dan dikelola secara eksklusif. Pengembangan industri juga harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan berbagai aspek lain. Pembangunan industri harus berkaitan dengan sisi pertumbuhan dan pemerataan.
Pelaku industri besar, menengah, kecil, hingga mikro harus memiliki kesempatan berkembang tanpa ada nuansa perkembangan satu industri meniadakan industri yang lain. Perimbangan sebaran industri di Jawa dan luar Jawa pun perlu diperhatikan karena berkaitan dengan isu kesenjangan antarwilayah.
Pembangunan industri harus inklusif, tanpa kecuali. Pengertiannya, pembangunan dan pengembangan industri melibatkan serta mencakup berbagai aspek dan pemangku kepentingan di segala sektor. Oleh karena itu, dukungan segenap kebijakan akan memastikan kemajuan perindustrian di masa mendatang. (C Anto Saptowalyono)