Musim kemarau yang cukup panjang membuat produksi getah karet merosot. Petani semakin tak bergairah menyadap karet karena harga komoditas itu juga rendah sejak satu tahun terakhir.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
KALIANDA, KOMPAS – Musim kemarau yang cukup panjang membuat produksi getah karet merosot. Petani semakin tak bergairah menyadap karet karena harga komoditas itu juga rendah sejak satu tahun terakhir.
”Pendapatan petani otomatis berkurang karena produksi turun. Harga juga tidak jelas,” keluh Mujiono (40), petani karet di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, Jumat (25/10/2019).
Mujiono memiliki kebun karet seluas satu hektar dengan rata-rata pohon berumur tujuh tahun lebih. Pada cuaca normal, kebunnya dapat menghasilkan 200-250 kilogram karet. Namun, saat ini, produksi karet hanya sekitar 80 kg karena cuaca tak mendukung.
Petani biasanya berangkat ke kebun setiap pagi dan sore hari untuk mengambil getah karet. Belakangan, petani malas ke kebun karena getah karet baru bisa terkumpul setelah 3-4 hari.
Pendapatan petani otomatis berkurang karena produksi turun. Harga juga tidak jelas, keluh Mujiono
Tiga bulan terakhir, cuaca di Lampung Selatan memang didominasi panas terik. Hujan hanya terjadi sesekali dalam sebulan.
Selain produksi anjlok, penghasilan petani semakin tak menentu karena harga karet tak kunjung membaik selama setahun terakhir. Saat ini, harga jual karet di tingkat petani berkisar Rp 6.000 – Rp 7.000 per kg.
Selama ini, petani juga tidak bisa langsung memasok karet ke pabrik. Karet itu dibeli terlebih dahulu oleh pengepul. Karet kemudian dilempar ke agen, baru dipasok ke pabrik. Rantai penjualan yang cukup panjang juga membuat harga karet di tingkat petani bertahan rendah.
“Jangankan menabung, untuk biaya kebutuhan sehari-hari dan perawatan pohon karet juga kurang,” ujar Gatot (43), petani karet lainnya.
Dalam satu bulan, Gatot yang memiliki 0,75 hektar kebun karet hanya bisa mengumpulkan uang Rp 1- 1,2 juta. Padahal, petani membutuhkan sedikitnya Rp 500.000 untuk biaya perawatan pohon karet dan ongkos kerja setiap bulan. Pendapatan yang terus merosot membuatnya tak bisa optimal merawat kebun.
Rumput liar dibiarkan tumbuh di kebun karet. Bahkan, petani juga berencana mengganti tanamannya. “Saya masih menunggu beberapa tahun lagi. Kalau harga karet tetap rendah, saya akan ganti ke tanaman lain. Mungkin saya akan menanam kelapa atau jagung,” katanya.
Petani lada
Kondisi serupa juga dialami petani lada hitam di Lampung Timur. Produktivitas dan harga lada hitam Lampung terus merosot dalam tiga tahun terakhir. Selain kondisi cuaca, anjlokya produksi lada juga dipengaruhi serangan hama.
Supangat, petani lada asal Desa Sukadana Baru, Kecamatan Marga Tiga, Lampung Timur menuturkan, merosotnya harga membuat banyak petani beralih ke tanaman lain. Saat ini, harga lada di tingkat petani berkisar Rp 30.000–Rp 40.000 per kg. arga itu merosot dibanding pada 2015 yang mencapai lebih dari Rp 100.000 per kg.
Saat ini, produktivitas rata-rata lada hitam hanya sekitar 400 kilogram per hektar. Itu pun hanya bisa dipanen satu kali setiap tahun. Padahal, saat normal, produksi lada bisa mencapai 1,5-2 ton per hektar.
“Sebagian petani memilih menebang tanaman lada dan menggantinya dengan tanaman jagung atau singkong yang tidak membutuhkan banyak air,” kata Supangat.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Lampung, pada 2017, luas kebun lada di Lampung tercatat 45.778 hektar dengan produksi lada hitam sebanyak 13.771 ton. Jumlah itu berkurang dibandingkan tahun 2016 yang mencapai 46.054 hektar dengan jumlah produksi lada hitam sebanyak 14.854 ton.
Ketua Dewan Rempah Provinsi Lampung Untung Sugiyatno mengungkapkan, banyak permasalahan terkait budidaya lada yang mendesak diselesaikan. Selain produksi lada yang kian turun, luas kebun lada di Lampung juga semakin berkurang.
Untung mendesak agar pemerintah pusat dan daerah segera membenahi tata kelola perkebunan lada Lampung. Diperlukan program intensifikasi dengan pemberian pupuk organik pada tanaman lada petani.