Persaingan operator telekomunikasi di Asia Tenggara dan Asia Selatan ketat. Di sisi lain, mereka juga harus menghadapi berbagai pengeluaran yang memengaruhi arus kas.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengeluaran belanja modal, membayar biaya penggunaan spektrum frekuensi, dan dividen akan berdampak terhadap arus kas operator telekomunikasi seluler. Tren ini diperkirakan akan berlanjut hingga 2021.
Moody’s Investor Service dalam laporan riset ”Telecommunication-South and Southeast Asia: Spectrum Payments are Higher But Dividens Hit Some Telcos Harder” pada 22 Oktober 2019 menyebutkan hal itu. Laporan meliputi 20 perusahaan telekomunikasi di tujuh negara Asia Tenggara dan Asia Selatan serta mencakup tiga operator terbesar di setiap negara.
Laporan Moody’s menyebutkan, secara absolut, pembayaran spektrum frekuensi oleh perusahaan telekomunikasi dalam 10 tahun terakhir diperkirakan 37 miliar dollar AS. Nilai ini lebih tinggi daripada dividen yang dibayarkan, salah satunya kepada pemilik dari pihak pemerintah, yakni 28 miliar dollar AS. Adapun belanja modal diperkirakan 125 miliar dollar AS.
Wakil Presiden dan Analis Senior Moody’s Nidhi Dhruv, Minggu (27/10/2019), di Jakarta, mengatakan, dari temuan analisis Moody’s, operator telekomunikasi di beberapa negara menyetor dividen dalam porsi yang cukup besar dari pendapatan operator.
”Perusahaan telekomunikasi di Asia Tenggara dan Selatan, yang masih ada pemegang saham pemerintah, seperti di Singapura, Malaysia, dan Indonesia, membayar dividen terbesar kepada pemerintah mereka masing-masing. Sementara perusahaan telekomunikasi swasta di wilayah tersebut, seperti India, Thailand, dan Bangladesh, membayar lebih banyak di lelang spektrum,” ujarnya.
Perusahaan telekomunikasi terkemuka di Singapura dan Malaysia membayar dividen 12-16 persen dari pendapatan agregat perusahaan. Adapun perusahaan telekomunikasi di India dan Thailand mengalokasikan 7,3-7,5 persen dari pendapatan agregat untuk membayar biaya penggunaan spektrum.
Nidhi Dhruv berpendapat, hal itu akan berdampak nyata terhadap arus kas operator telekomunikasi.
”Perusahaan telekomunikasi memiliki lebih banyak fleksibilitas untuk mengurangi setoran dividen. Namun, dalam konteks belanja modal dan pembelian spektrum frekuensi, mereka memiliki fleksibilitas terbatas. Persaingan pasar layanan telekomunikasi di Asia Tenggara dan Selatan ketat,” kata Nidhi.
Mengutip buku Discovery, Adventure, Momentum, Output Memori Jabatan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, tambahan pita mobile broadband hasil penataan spektrum frekuensi pada 2015 mencapai 165 megahertz (MHz). Pada 2016 ada tambahan 26 MHz dan pada 2017 ditambah 55 MHz.
Berdasarkan penetapan izin pita frekuensi radio, Net1 memegang lisensi 450 MHz, sedangkan Smartfren 800 MHz dan 2.300 MHz. Telkomsel mengantongi izin penggunaan pita frekuensi 900 MHz, 1.800 MHz, 2.100 MHz, dan 2.300 MHz.
Sementara XL Axiata dan Indosat Ooredoo mempunyai izin penggunaan pita frekuensi yang sama, yakni 900 MHz, 1.800 MHz, dan 2.100 MHz. Adapun Hutchison Tri Indonesia mengantongi izin 1.800 MHz dan 2.100 MHz.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kemkominfo terdiri dari komponen biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, dana pelayanan universal, BHP telekomunikasi, biaya sertifikasi perangkat, izin penyelenggaraan pos, izin penyelenggaraan penyiaran, dan penerimaan lain. Pada 2013, realisasi PNBP Rp 13,671 triliun, yang naik menjadi Rp 21,394 triliun pada 2018.
Pungutan
Wakil Direktur Utama Hutchison Tri Indonesia Danny Buldansyah, yang dikonfirmasi perihal laporan riset Moody’s, menyampaikan, pihaknya cenderung melihat seluruh pungutan yang dibebankan pemerintah secara utuh per tahun kepada operator telekomunikasi seluler. Pungutan itu meliputi, antara lain, biaya spektrum frekuensi, BHP telekomunikasi, dan dana pelayanan universal. Selain itu, juga masih ada berbagai retribusi yang ditarik pemerintah daerah.
Dalam konteks penetapan harga biaya hak penggunaan spektrum frekuensi, Direktur Utama PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) Emma Sri Martini, di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (25/10), berpendapat, pemerintah perlu mempertimbangkan kemampuan belanja modal operator telekomunikasi. Perlu ada kebijakan yang mendorong industri berkontribusi lebih besar dan berkelanjutan bagi masyarakat.
Group Head Corporate Communication PT XL Axiata Tbk (XL Axiata) Tri Wahyuningsih menyoroti isu spektrum frekuensi yang kini mewarnai perjalanan industri telekomunikasi. Isu spektrum frekuensi berkaitan dengan wacana kebijakan konsolidasi antaroperator.
”Kepastian status spektrum merupakan hal paling utama bagi operator telekomunikasi, termasuk XL Axiata, dalam menjajaki atau melakukan merger,” ujarnya.
Isu kedua adalah ketersediaan spektrum frekuensi untuk penggelaran layanan 5G. Menurut dia, hal ini krusial.
Tri mengatakan, perusahaan berharap pemerintah mengalokasikan spektrum frekuensinya sesuai ketersediaan ekosistem 5G yang telah dikembangkan oleh vendor teknologi dan digelar oleh banyak negara lain. Misalnya, spektrum frekuensi 2,6 GHz dan 3,5 GHz. (MED)