Padukan Madu dan Wisata
Pengalaman mengikuti orangtuanya beternak lebah membuat Qozin Purnama (35) berani melangkahkan kaki meninggalkan kawasan hutan di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Semula, kegiatan beternak lebah penghasil madu dilakukan di Desa Giritengah.
Bersama istrinya, Nova Darmawanti (33), Qozin berupaya membangun usaha yang lebih prospektif. Caranya, dengan mendekatkan usaha madu lebah dengan dunia pariwisata di sekitar Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Tanjungsari.
Madu dari bunga tanaman kaliandra, yang banyak tumbuh di perbukitan Menoreh, itu dipasarkan dengan merek Ashfa Madu.
Qozin dan Nova memanfaatkan sektor pariwisata di sekitar Candi Borobudur. Mereka membidik wisatawan yang datang ke salah destinasi wisata utama Indonesia itu.
Namun, tak hanya menunggu wisatawan datang. Pasangan suami-istri ini juga berupaya menarik wisatawan untuk datang dan membeli Ashfa Madu. Mereka bekerja sama dengan salah satu komunitas wisata mobil Volkswagen di kawasan Borobudur. Caranya, dengan menitipkan paket wisata lebah di rumah tinggal Qozin dan Nova.
”Wisatawan yang ingin berkeliling di Kecamatan Borobudur kami tawarkan untuk mampir ke rumah kami. Pengunjung bisa berwisata sejenak dan merasakan pengalaman memanen, mencicipi madu, dan berswafoto dengan sarang lebah,” ujarnya.
Selain bekerja sama dengan komunitas wisata, Qozin juga menjalin relasi dengan hotel-hotel di sekitar Candi Borobudur dan berpromosi melalui media sosial. Melalui berbagai upaya mendekatkan diri pada wisatawan itu, madu yang semula menjadi produk khas desa akhirnya menjadi produk yang kekinian dan dikenal di perkotaan. Bahkan, dikenal hingga mancanegara.
Di dalam negeri, madu produksi Qozin dan Nova memenuhi permintaan konsumen dari Jawa, antara lain Yogyakarta dan Jakarta, hingga luar Jawa, yakni Papua, Kalimantan, dan Sumatera. Adapun konsumen dari luar negeri antara lain wisatawan dari Malaysia, Perancis, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang yang membeli produk madu Ashfa.
”Dalam satu kali datang, wisatawan Malaysia pernah membeli hingga 10 botol madu sekaligus,” tutur Qozin.
Wisatawan mancanegara yang merasa cocok dengan citarasa madu itu sebenarnya meminta agar madu dikirim ke negara mereka. Akan tetapi, Qozin mengaku belum mengerti prosedur pengiriman yang benar sehingga permintaan itu belum bisa dipenuhi.
Madu yang diproduksi Qozin dan Nova dijual dalam kemasan botol ukuran 250 mililiter (ml). Adapun bee pollen dijual dengan harga Rp 140.000 per botol. Dari penjualan madu itu, pasangan ini membukukan omzet Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per bulan. Seiring waktu, omzet juga terus meningkat hingga mencapai Rp 10 juta per bulan.
Mengenal lebah
Qozin yang lahir di Desa Giritengah sudah diajak orangtuanya ke hutan sejak duduk di kelas 4 sekolah dasar. Mereka beternak lebah dan memanen madu.
Pada awalnya, Qozin sempat takut disengat lebah. Namun, selaras waktu, pengalaman disengat lebah menjadi tak terhindarkan. Qozin semakin berani dan nyaman menjalankan aktivitas beternak lebah dan memanen madu.
”Kalau dihitung-hitung, sudah tak terbilang berapa kali saya disengat lebah. Namun, bagaimanapun, saya menyukainya,” ujarnya.
Kegiatan beternak lebah dan memanen madu itu dilakoni hingga lulus sekolah menengah atas. Namun, kegiatan itu tak dilakukannya dengan serius. Pada 2005, setelah menikah, beternak lebah juga masih dilakukan sebatas kegiatan sampingan. Pekerjaan utamanya di industri mebel. Untuk menambah pendapatan keluarga, Nova membuka warung kelontong yang menjual kebutuhan sehari-hari.
Akan tetapi, rupanya Qozin tak betah untuk berlama-lama menjadi karyawan di perusahaan mebel. Ia memilih keluar dan meninggalkan pekerjaan itu. Selanjutnya, Qozin fokus pada kegiatan beternak lebah. Ia tak sendiri karena mengajak serta istrinya, yang sebenarnya tidak memiliki pengalaman di bidang beternak lebah dan memanen madu.
Nova mengaku, beternak lebah madu memberi pengalaman berbeda. Sebab, ia harus berjalan jauh, naik pebukitan, dan masuk hutan di kawasan Bukit Menoreh. Kegiatan itu bukan perjalanan yang mudah karena jalanan yang harus dilalui menanjak.
”Bagi saya, beternak lebah madu memberikan pengalaman naik gunung yang belum pernah saya rasakan sebelumnya,” ujar Nova.
Saat itu, akses jalan masih terbilang sulit dilalui sehingga perjalanan naik dan turun ke sarang lebah mencapai 1 jam. Namun, kini, akses jalan yang bisa dilalui sudah lebih dekat ke kawasan hutan sehingga waktu tempuh menjadi lebih singkat.
Setelah menjalankan bisnis tersebut berdua, Qozin dan Nova berpikir untuk memperoleh keuntungan yang lebih. Mereka akhirnya memutuskan untuk keluar dari Desa Giritengah, tentu saja atas seizin orangtua Qozin.
Seiring berjalannya waktu, usaha mereka berkembang. Qozin dan Nova kini memiliki 300 kotak koloni lebah. Setiap kotak berisi ribuan lebah.
Namun, pencapaian itu bukan tanpa usaha dan kondisi jatuh-bangun. Kondisi paling parah terjadi saat kawasan hutan di perbukitan Menoreh tertutup abu tebal dari erupsi Gunung Merapi pada 2010. Kawasan hutan yang tertutup abu dan banyaknya pohon yang mati membuat lebah di kotak-kotak koloni di hutan pun mati.
Agar tidak kehilangan pelanggan, selama setahun, Qozin dan Nova mencoba bertahan dengan menjual madu yang dipasok rekan mereka. Qozin juga menopang kehidupan keluarga dengan bekerja serabutan di sejumlah industri rumahan. Namun, perlahan, dengan semakin berkurangnya abu erupsi di hutan pebukitan Menoreh, mereka kembali merintis usaha.
Kendati menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan, pasangan ini tetap memutuskan untuk konsisten memproduksi madu. Keinginan untuk terus menjalankan usaha ini terutama dirasakan Qozin yang memang dilahirkan dari keluarga peternak lebah.
”Beternak lebah dan memproduksi madu adalah aktivitas yang sudah menjadi panggilan jiwa. Dahulu, saya dibesarkan dengan madu sehingga saat ini saya akan mencukupi kebutuhan keluarga saya dengan madu,” ujarnya.