Kolaborasi pemangku kepentingan dinilai penting untuk mengatasi hambatan masyarakat dalam mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi. Persepsi atas manfaat dan kemudahan penggunaan memengaruhi pengguna.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi pemangku kepentingan dinilai penting untuk mengatasi hambatan masyarakat dalam mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Persepsi atas manfaat dan kemudahan penggunaan memengaruhi pengguna dalam mengadopsi teknologi tersebut.
”Akses TIK penting karena dapat memfasilitasi partisipasi ekonomi, pengembangan sosial, dan pengambilan keputusan,” kata Sekretaris Eksekutif Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada Dewa Ayu Diah Angendari, Rabu (6/11/2019), di Jakarta.
Diah mengatakan hal tersebut pada peluncuran hasil riset bersama CfDS Universitas Gadjah Mada dan PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) bertajuk ”Peran Amartha dalam Meningkatkan Kesejahteraan Perempuan di Pedesaan”.
Riset kolaboratif yang menggabungkan metode survei, wawancara, dan diskusi kelompok terfokus tersebut dilakukan terhadap 88 responden mitra Amartha. Responden tersebar di Bandung, Bogor, Sukabumi, Banyumas, Klaten, Kediri, dan Mojokerto.
Diah menuturkan, 62,5 persen responden tidak memiliki akses ke internet. Sumber informasi utama mereka masih berasal dari media konvensional, yaitu televisi. Semua responden diketahui memiliki televisi.
”Bagi mereka yang sudah menggunakan TIK terdapat peluang agar dapat memanfaatkannya lebih lanjut, misalnya untuk mendukung pekerjaan, ruang ekspresi, atau mengakses informasi,” ujar Diah.
Berdasarkan data yang diperoleh, Diah menuturkan, mayoritas pengguna TIK masih menggunakannya sebatas sebagai media komunikasi. Premis ketiadaan akses terhadap internet biasanya berhubungan dengan tiga hal, yakni usia, tingkat pendidikan, dan pendapatan.
”Kami mendapatkan data ketidakpemilikan akses internet semakin besar angkanya di usia responden yang semakin tua,” kata Diah.
Ketika masuk ke tingkat pendidikan, ketidakpemilikan gawai didominasi kelompok yang tingkat pendidikannya relatif rendah atau tidak bersekolah. Survei menunjukkan, usia dan tingkat pendidikan tersebut lebih berpengaruh terhadap ketidakpemilikan gawai dibandingkan hubungannya dengan penghasilan.
”Ketika kami elaborasi lebih lanjut menggunakan model alur penerimaan teknologi, ternyata ada dua hal yang sangat berperan dalam adopsi teknologi,” tutur Diah.
Dua hal tersebut adalah persepsi masyarakat atas manfaat yang diberikan teknologi. Hal lain adalah persepsi masyarakat atas kemudahan menggunakan teknologi tersebut.
Chief Risk and Sustainability Officer Amartha Aria Widyanto mengatakan, Amartha melibatkan petugas lapangan untuk mendampingi mitra, yang 62,5 persen di antaranya tidak memiliki telepon genggam tersebut sehingga dapat terhubung internet.
”Ada PR besar. Hal yang ingin kami ketahui selanjutnya adalah bagaimana mengurangi kesenjangan digital tersebut karena perubahan perilaku dari nondigital ke digital itu sebuah keniscayaan,” kata Aria.
Aria menuturkan, Amartha ingin mempelajari lebih lanjut bentuk intervensi agar masyarakat, terutama ibu-ibu di perdesaan, tidak takut dan nyaman bertransaksi serta menggunakan telepon genggam mereka untuk keperluan produktif.
”Misalnya untuk berjualan, mengakses informasi, mendapatkan pinjaman, dan melakukan pembayaran,” kata Aria.
Menurut Aria, hal-hal tersebut akan menjadi informasi sangat berharga bagi Amartha dalam mengembangkan produk baru di masa mendatang.