Mulai Januari 2020, Kementerian Kelautan dan Perikanan memberlakukan wajib sertifikasi profesi nelayan. Kewajiban sertifikasi juga akan diberlakukan untuk pelaku usaha perikanan lainnya, seperti pelaku usaha budidaya ikan dan pengolahan.
Sertifikasi profesi nelayan dinilai sejalan dengan ratifikasi pemerintah terhadap ketentuan standar pelatihan dan sertifikasi pengawasan kapal penangkapan ikan yang ditetapkan organisasi maritim internasional (IMO).
Tak tanggung-tanggung, pemerintah menargetkan sertifikasi untuk 1 juta nelayan. Kapten kapal dan kepala kamar mesin kapal perikanan harus punya sertifikat jika tetap ingin bisa melaut.
Dengan keterbatasan balai-balai perikanan yang dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pemerintah berencana menggandeng Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP) untuk menyelenggarakan sertifikasi pelaku usaha perikanan.
Berdasarkan data KKP, profil pelaku usaha perikanan saat ini berkisar 2,7 juta nelayan. Dari jumlah itu, sekitar 96 persen di antaranya adalah nelayan kapal kecil berukuran di bawah 30 gros ton (GT).
Target sertifikasi yang sebanyak 1 juta nelayan atau 37 persen dari total nelayan Indonesia pada akhirnya juga akan menyasar nelayan-nelayan kecil. Dikhawatirkan, kesulitan mengakses sertifikasi ini akan berdampak bagi nelayan kecil, yakni tidak bisa melaut.
Sertifikasi profesi nelayan seharusnya dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan daya tawar pendapatan buruh nelayan terhadap pemilik kapal, atau setidaknya daya tawar harga jual ikan. Faktanya, pendapatan buruh nelayan masih tak menentu, sedangkan harga jual ikan terombang-ambing musim dan pasar.
Sertifikasi profesi nelayan seharusnya dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan daya tawar pendapatan buruh nelayan
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menyebutkan, profesi nelayan selama ini masih menjadi jaring pengaman untuk memperoleh pekerjaan. Akan tetapi, masih ada ketimpangan besar antara buruh nelayan dengan pemilik kapal.
Ketimpangan juga terjadi antara nelayan besar dan kecil, mulai dari aspek pendidikan, kesejahteraan, hingga akses informasi.
Tanpa pemerataan akses informasi, nelayan kecil berpotensi menjadi korban kebijakan dan kehilangan pencarian akibat tak bisa melaut.
Sejatinya, sertifikasi nelayan bukan proyek legitimasi profesi. Lebih dari itu, program sertifikasi harus memberi jaminan manfaat untuk meningkatkan pendapatan, membuka akses pasar lebih luas, serta meningkatkan nilai jual tangkapan. Dengan demikian, sertifikasi akan berdampak konkret terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan.
Di sektor perikanan budidaya, upaya memenuhi sertifikasi cara budidaya ikan yang baik mampu membuka akses pemasaran produk hasil budidaya ke pasar tujuan utama, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Namun, jumlah pembudidaya yang sudah mengantongi sertifikasi cara budidaya ikan yang baik baru sekitar 5.500 orang. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan jumlah pembudidaya ikan yang mencapai 1,6 juta pembudidaya.
Sementara itu, usaha pengolahan ikan yang telah mengantongi sertifikat keamanan pangan (HACCP) juga mendapatkan akses pemasaran ekspor.
Di luar kepentingan sertifikasi, masih banyak persoalan mendasar yang juga perlu solusi mendesak, di antaranya proses perizinan yang rumit dan berbelit.
Pelaku usaha kapal perikanan masih terganjal proses perizinan yang melibatkan dua kementerian, yakni KKP dan Kementerian Perhubungan.
Sertifikasi adalah keniscayaan jika membawa manfaat langsung bagi pelaku usaha perikanan. Pemerintah punya tugas mendampingi para pelaku usaha perikanan agar program ini tidak berakhir menjadi proyek yang membebani nelayan, khususnya nelayan kecil. (BM Lukita Grahadyarini)