Pengusaha dan pekerja menaruh perhatian pada rencana penerbitan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Salah satu isu utama yang disorot terkait UU yang akan menjadi omnibus law itu menyangkut masalah ketenagakerjaan.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pengusaha dan pekerja menaruh perhatian pada rencana penerbitan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Salah satu isu utama yang disorot terkait undang-undang yang akan menjadi omnibus law itu menyangkut persoalan ketenagakerjaan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja akan mengakomodasi sejumlah pasal dalam beberapa UU terkait investasi. Pembahasannya menggunakan metode omnibus law atau UU ”sapu jagat”. Dengan demikian, satu RUU dipakai untuk menyinkronkan sejumlah regulasi yang tumpang tindih dan bertentangan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menuturkan, pihaknya melihat titik utama omnibus law itu adalah penciptaan lapangan kerja. ”Materi di UU 13 (Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), yang kami pandang selama ini menjadi hambatan penciptaan lapangan kerja, kelihatannya akan ditarik,” kata Hariyadi di Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Apindo lantas menyoroti sejumlah faktor yang selama ini dinilai memperlambat penciptaan lapangan kerja. Faktor-faktor itu antara lain soal pengupahan, pesangon, alih daya, fleksibilitas jam kerja, jaminan sosial, dan tenaga kerja asing.
Hariyadi menambahkan, terkait pengupahan, kenaikan upah yang tinggi akan menciptakan kesenjangan antara orang yang sudah bekerja dan orang yang mau bekerja. ”Orang (pengusaha) akhirnya cenderung mengerem penyerapan tenaga kerja,” katanya.
Berkaitan dengan fleksibilitas jam kerja, pekerja milenial cenderung tidak mau bekerja dalam waktu yang kaku. Mereka menginginkan waktu kerja yang luwes. Bahkan, ada juga yang tidak ingin terikat hanya pada satu pemberi kerja.
”Menurut kami, pengaturan alih daya juga kurang pas. Pembatasan alih daya hanya pada lima jenis pekerjaan, sebetulnya, juga menjadi penghambat penciptaan lapangan kerja,” ujar Hariyadi.
Sementara itu, Ketua Departemen Lobby dan Humas Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Andy William Sinaga ketika dimintai pandangan menuturkan, UU Cipta Lapangan Kerja harus bermuara pada pencapaian pekerjaan yang layak. ”UU Cipta Lapangan Kerja perlu memperhatikan hak-hak normatif buruh,” kata Andy.
Andy menuturkan, hak buruh dalam berserikat atau membentuk serikat buruh harus terlindungi. Demikian pula hak untuk berunding, khususnya dalam membuat perjanjian kerja bersama serta hak mendapatkan jaminan sosial dan sistem pengupahan buruh atau pekerja yang layak.
Selain itu, tambah Andy, perlu juga diatur keterikatan dalam satu kawasan industri, antara sarana pendidikan, rumah sakit, perumahan, dan transportasi. Langkah ini untuk menekan biaya hidup harian buruh atau pekerja agar upah yang mereka peroleh dapat memenuhi kebutuhan yang layak.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Hari Firdaus, pekan lalu, mengatakan, di saat nilai investasi di Indonesia belakangan meningkat, kemampuan dalam menciptakan lapangan kerja di Indonesia justru semakin rendah.