Ekspor Belum Atasi Kelebihan Pasokan Ayam Hidup di Dalam Negeri
Pemerintah mendorong ekspor daging ayam untuk mengatasi masalah oversupply atau berlebihnya produksi ayam hidup.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong ekspor daging ayam untuk mengatasi masalah oversupply atau berlebihnya produksi ayam hidup. Namun, peternak mandiri menilai strategi tersebut masih kurang efektif untuk menaikkan harga daging ayam yang terus merosot.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Suhanto saat ditemui pada Minggu (24/11/2019) mengatakan, ekspor merupakan salah satu cara untuk atasi berlebihnya produksi ayam.
”Kita tahu belakangan ini para peternak kita menghadapi oversupply. Dengan ekspor, antara lain melalui PT CPI ini, kami harapkan harga ayam hidup dalam negeri terdongkrak dan kesejahteraan peternak akan terangkat,” tuturnya saat ditemui di kantor PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI) Tbk di Jakarta, Minggu (24/11/2019).
Di lokasi tersebut, ia menyaksikan pelepasan 16 kontainer produk peternakan ayam ke Republik Demokratik Timor Leste dan Jepang. PT CPI, yang merupakan perusahaan peternakan unggas terintegrasi terbesar di Indonesia, telah memulai ekspor produk peternakan ayam pada Maret 2017.
Pada 2018, PT CPI antara lain mengekspor tiga kontainer produk olahan ayam dan griller ayam, 20 kontainer berisi 82.000 ekor anak ayam umur sehari (day old chicken/DOC). Hari ini, perusahaan tersebut melepas antara lain 6 kontainer berisi 64,77 ton produk olahan unggas.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi DOC pada 2019 mencapai 3,1 miliar ekor atau setara 3,5 juta ton daging ayam setahun. Kebutuhan daging ayam pada tahun ini diperkirakan sebesar 3,25 juta ton setahun. Dengan demikian, tahun ini Indonesia surplus sekitar 258.000 ton daging ayam.
Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Singgih Januratmoko mengatakan, surplus ayam tidak diserap dengan baik, termasuk dengan kegiatan ekspor. Akibatnya, harga ayam sempat beberapa kali anjlok ke harga terendah.
Sepanjang tahun berjalan 2019, harga ayam hidup di tingkat peternak beberapa kali turun drastis dari harga pokok produksi (HPP) Rp 19.000. Pada Juni 2019, harga ayam hidup pernah menyentuh kisaran Rp 7.000-Rp 9.000 per kilogram (kg). Lalu, Agustus 2019, harga ayam hidup menyentuh nilai terendah, yakni Rp 8.000 per kg.
”Volume ekspor ayam Indonesia masih sangat kecil untuk menyerap produksi ayam hidup dalam negeri. Kita mungkin baru mampu ekspor 1 persen dari produksi. Idealnya 20 persen,” kata Singgih.
Solusi terpenting untuk mengatasi masalah tersebut, menurut tuntutan peternak, adalah pemerintah mengatur tata niaga peternakan ayam. Aturan itu salah satunya dengan mewajibkan perusahaan integrator untuk menyerap minimal 50 persen ayam budidaya untuk dipotong di rumah potong ayam (RPA) mereka.
”Pemerintah sudah ada rencana ke sana dengan membuat peraturan menteri pertanian, tapi belum disahkan,” ujarnya.
Koordinasi
Menteri pertanian yang baru menjabat, Syahrul Yasin Limpo, mengatakan, pemerintah akan memecahkan masalah tersebut dengan meningkatkan sinergi dan koordinasi dengan berbagai pihak terkait.
”Masalah seperti oversupply ini harus kita pikirkan. Tentu saja, kita harus bersinergi antara satu unit kerja dan lain, termasuk pemerintah daerah,” ucapnya saat ditemui hari ini.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Muzdalifah juga mengatakan akan mengembangkan kerja sama yang lebih koordinatif untuk mengantisipasi kelebihan produksi dan fluktuasi harga jual ayam.
”Kita sekarang membangun program hilirisasi. Supaya jalur itu jelas, sumber datanya harus kita bangun. Contohnya, sekarang kita sedang memetakan di mana sentra ayam di mana sentra industri. Jadi, kalau misalnya ayam di suatu daerah berlebih, kita akan olah dan pasarkan di tempat-tempat lain,” tuturnya.
Konsumsi ayam
Peningkatan konsumsi ayam sebagai sumber protein hewani oleh masyarakat Indonesia juga diharapkan bisa menyerap produksi ayam nasional.
Saat ini, konsumsi daging ayam di Indonesia baru sebesar 13 kg per kapita per tahun. Nilai itu jauh lebih rendah dari konsumsi masyarakat Malaysia yang mencapai 40 kg per kapita.
Muzdalifah mengakui, rendahnya konsumsi daging ayam dipicu rendahnya kesadaran masyarakat alan pentingnya keragaman pangan. Menurut dia, sampai saat ini masyarakat masih melihat nasi sebagai bahan makanan utama.
”Perlu kita lakukan sosialisasi pola konsumsi. Ayam mungkin mereka punya, tetapi mereka tidak berpikir itu penting untuk konsumsi. Demikian juga dengan telur. Telur, kan, harusnya terjangkau, tetapi kadang-kadang mereka tidak berpikir telur itu penting,” paparnya.