Kelompok tani atau koperasi untuk petani karet dinilai merupakan jalan pintas untuk meningkatkan kualitas produksi yang akan mampu mendongkrak harga karet di kalangan petani.
Oleh
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Keterbukaan dan kerja sama dengan pabrik-pabrik karet juga dinilai masih menjadi kunci sukses membenahi tata niaga karet. Sampai saat ini harga karet di kalangan petani masih beragam, tetapi belum sampai ke titik normal. Di Kabupaten Pulang Pisau saja terdapat beragam harga di kalangan petani. Petani yang sudah membentuk koperasi memperoleh harga yang jauh lebih baik.
Di Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, harga karet berkisar Rp 7.000 sampai Rp 8.000 per kilogram, jauh berbeda dengan kecamatan lain yang hanya Rp 4.500 sampai Rp 5.000 per kilogram. Di kecamatan ini terdapat 135 petani karet yang membentuk koperasi atau Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar atau bahan olah karet rakyat (UPPB).
”Kami dapat pendampingan langsung dari berbagai pihak, termasuk perusahaan. Jadi kami tahu perusahaan itu mau karet yang seperti apa,” kata Suradi (40), anggota UPPB Kecamatan Pandih Batu, saat dihubungi dari Palangkaraya, Selasa (26/11/2019).
UPPB Pandih Batu merupakan dampingan USAID Lestari Kalimantan Tengah. Selain di Pandih Batu, terdapat tiga kecamatan lain di Kabupaten Pulang Pisau yang sudah didampingi USAID Lestari. Satu UPPB membawahi empat sampai lima kelompok petani karet.
Kami dapat pendampingan langsung dari berbagai pihak, termasuk perusahaan. Jadi kami tahu perusahaan itu mau karet yang seperti apa. (Suradi)
Koordinator Landscape USAID Lestari Rosenda Chandra Kasih mengungkapkan, pasar global tidak selalu menjadi masalah dalam persoalan harga, tetapi kualitas menjadi alasan utama harga karet di kalangan petani naik turun. Akses petani ke pabrik pengolahan karet minim sehingga petani tidak mengetahui standar getah karet yang baik yang dimiliki perusahaan karet.
”Pembentukan kelompok atau koperasi untuk petani itu kuncinya, sehingga sosialisasi dan semua program pemerintahan itu bisa masuk. Selama ini program itu tidak diketahui oleh petani individual atau yang tidak bergabung di koperasi,” ungkap Rosenda.
Rosenda menambahkan, dengan berkelompok atau bahkan berorganisasi, petani mendapatkan jaminan kualitas dan produksi yang berkelanjutan. ”Kami sudah membuat kesepakatan dengan pabrik pengolahan sehingga karetnya pasti dibeli,” katanya.
Badan usaha
Berbeda dengan yang dilakukan USAID Lestari, Kepala Desa Sebangau Mulya Hariwung membuat badan usaha milik desa (BUMDes) untuk bisa mengolah karet dan membeli karet dari masyarakat. Dengan kondisi pasca-kebakaran, produksi karet di desanya menurun drastis.
”Dengan kondisi demikian (pasca-kebakaran) banyak tengkulak ragu membeli, tapi kalau BUMDes saya paksa mereka harus beli meski yang datang itu hanya membawa satu kantong keresek getah,” ungkap Hariwung.
Bagi Hariwung, yang terpenting adalah petani bisa menjual karetnya arena pengalaman selama ini banyak karet yang ditolak pabrik atau tengkulak dengan beragam penilaian. Melalui BUMDes, karet dimasukkan ke dalam gudang Bokar sehingga bisa disimpan dan dikumpulkan sebelum dijual.
”Dibeli dulu saja yang penting, kasihan banyak petani yang menggantungkan nasibnya pada karet, tetapi karena terbakar penghasilan mereka berkurang,” kata Hariwung.