Kondisi perekonomian domestik jadi penyebab utama target penerimaan pajak 2019 tak tercapai. Realisasi penerimaan pajak 2018 meleset Rp 108,1 triliun dari target.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perluasan basis pajak mendesak dilakukan untuk mengantisipasi potensi penerimaan pajak yang hilang. Kehilangan penerimaan pajak antara lain akibat kebijakan relaksasi pajak maupun penurunan tarif.
Ide Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk memperluas basis pajak berdasarkan basis kewilayahan dinilai sebagai salah satu terobosan. Usulan Dana Moneter Internasional (IMF), kelompok yang disasar adalah wajib pajak kaya dengan profesi khusus dan wajib pajak sangat kaya.
”Perluasan basis pajak berbasis kewilayahan akan lebih sistematis dan merujuk pada data yang telah dihimpun otoritas,” ujar peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, yang dihubungi pada Senin (25/11/2019).
Selain memperluas basis pajak, DJP perlu menambah jumlah wajib pajak melalui pengenaan jenis obyek pajak baru, misalnya, pajak atas platform digital asing. Selain itu, DJP juga mesti mencegah penggerusan basis pajak melalui skema pajak alternatif minimum atau kewajiban pengungkapan skema perencanaan pajak.
Bawono melanjutkan, penambahan jumlah wajib pajak juga bisa dilakukan dengan mengurangi gap kebijakan melalui perubahan skema pajak final pada beberapa sektor. Upaya perluasan basis pajak dan penambahan jumlah wajib pajak diyakini dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tertekan seiring pelambatan pertumbuhan ekonomi domestik.
Berdasarkan data Kemenkeu, realisasi penerimaan pajak per akhir Oktober 2019 sebesar Rp 1.018,48 triliun atau 64,5 persen dari target APBN. Realisasi penerimaan pajak itu hanya tumbuh 0,23 persen secara tahunan. Padahal, pada Oktober 2018, realisasinya tumbuh 14,2 persen secara tahunan.
Tidak capai target
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Kemenkeu Yon Arsal menuturkan, pelambatan pertumbuhan penerimaan pajak pada 2019 dipengaruhi tiga faktor utama, yaitu kebijakan percepatan restitusi, pelemahan kinerja ekspor dan impor, serta penurunan harga komoditas global.
”Indikator utama adalah impor. Penerimaan pajak impor kemungkinan masih minus sampai akhir tahun meskipun tidak sebesar Oktober,” kata Yon dalam jumpa media di Jakarta, Senin (25/11/2019).
Yon menambahkan, penerimaan pajak impor yang lebih rendah itu sejalan dengan kinerja impor domestik yang tertekan. Potensi penerimaan pajak diperkirakan tidak mencapai target (shortfall) hingga lebih dari Rp 140 triliun.
”Shortfall pajak tahun ini diperkirakan lebih besar dari proyeksi semester I-2019 dan realisasi 2018 yang sekitar Rp 110 triliun,” kata Yon.
Aktivitas ekonomi melemah yang terefleksi dalam seluruh penerimaan pajak sektoral. Di sisi lain, harga komoditas yang mulai membaik baru berdampak ke penerimaan pajak Desember dan tahun 2020.
Menurut Yon, penerimaan pajak yang tidak mencapai target diupayakan tidak lebih dari Rp 200 triliun pada akhir tahun ini. Penerimaan PPh 21 atau PPh karyawan, yang menjadi penopang penerimaan pajak, akan tumbuh di atas 10 persen kendati melambat. Pertumbuhan PPh karyawan mengindikasikan kondisi ekonomi domestik terkendali dan tidak ada pemutusan hubungan kerja besar-besaran.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, hingga akhir 2019 dan 2020, strategi yang diterapkan adalah optimalisasi ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Ekstensifikasi dilakukan melalui pertukaran data keuangan dan pembentukan satuan tugas tata kelola dan pemanfaatan informasi keuangan. (KRN)