Lebih kurang 2.000 unit kapal ikan eks asing masih berlabuh di perairan Maluku. Sejak akhir 2014, pemerintah pusat melarang beroperasinya kapal yang diduga berpotensi melakukan tindak pidana kejahatan kemaritiman itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Lebih kurang 2.000 unit kapal ikan eks asing masih berlabuh di perairan Maluku. Sejak akhir 2014, pemerintah pusat melarang beroperasinya kapal yang diduga berpotensi melakukan tindak pidana kejahatan kemaritiman itu. Kini perlu jalan keluar agar kapal-kapal itu memberikan manfaat dalam menggairahkan perikanan, sektor unggulan di Maluku.
Menurut pantauan Kompas pada Selasa (3/12/2019), kapal ikan eks asing itu banyak berlabuh di Teluk Ambon. Tak ada aktivitas di dalam kapal yang berukuran di atas 30 gross ton itu. Juga tanpa ada perawatan, padahal bagian badan kapal berkarat. Beberapa unit kapal yang bocor sudah tenggelam. Semua kapal dimaksud terdaftar dengan pangkalan Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon.
Kapal eks asing juga berlabuh di wilayah perairan lainnya di Maluku, yakni Kepulauan Aru, Kepulauan Kei, dan Kepulauan Tanimbar. Saat masih beroperasi dulu, setiap kapal eks asing mempekerjakan warga negara asing sebagai anak buah kapal. Mereka kebanyakan berasal dari Myanmar, Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Filipina.
”Kapal ikan eks asing yang beroperasi di Maluku lebih kurang 2.000 unit, khusus di Ambon sebanyak 112 unit. Nasib kapal-kapal itu tidak jelas. Apakah dibiarkan? Semua sangat bergantung pada kebijakan nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Romelus Far Far.
Menurut dia, kapal-kapal itu dapat dioperasikan kembali lewat tahap pemeriksaan yang ketat dengan aturan berlapis. Selain wajib menggunakan anak buah kapal dalam negeri, alat tangkap yang digunakan juga harus diganti. Alat tangkap hampir semua kapal eks asing tidak ramah lingkungan, seperti pukat harimau yang panjangnya puluhan mil laut.
”Kapal ikan eks asing yang beroperasi di Maluku lebih kurang 2.000 unit, khusus di Ambon sebanyak 112 unit. Nasib kapal-kapal itu tidak jelas. Apakah dibiarkan? Semua sangat bergantung pada kebijakan nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan,” kata Romelus Far Far.
Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari menambahkan, pemerintah boleh memberlakukan peraturan tambahan bagi kapal eks asing. Ketentuan itu penting demi mencegah atau mengurangi risiko kejahatan kemaritiman. Kejahatan dimaksud seperti bongkar-muat ikan di tengah laut, peredaran narkoba, hingga penyelundupan nelayan asing.
Ruslan meyakini, beroperasinya kembali kapal eks asing di Maluku akan menggairahkan pertumbuhan ekonomi di sektor itu. Nelayan lokal kembali terserap. Satu kapal dapat menyerap hingga 30 anak buah kapal. Aktivitas perekonomian di pelabuhan tempat tambat, labuh, serta pangkalan kapal akan bergairah kembali.
Menurut catatan Kompas, sejak pelarangan kapal eks asing pada awal 2014, geliat ekonomi di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon, misalnya, lesu. Perputaran uang yang sebelumnya mencapai Rp 1,94 triliun per tahun diperkirakan anjlok hingga 90 persen. Penerimaan negara bukan pajak di PPN itu, yang pada 2014 sebesar Rp 809 juta, juga anjlok hingga menyisakan kurang dari 20 persen pada tahun-tahun berikutnya.
Jumlah pelaku ekonomi di pelabuhan meliputi anak buah kapal, karyawan perusahaan perikanan, dan pedagang kaki lima pun berkurang jauh daripada sebelumnya yang mencapai 20.360 orang. Terjadi pemutusan hubungan kerja di semua perusahaan perikanan. Jumlah penganggur di Maluku meningkat. Kemiskinan pun bertambah.
Sementara itu, Gubernur Maluku Murad Ismail, dalam sambutannya pada penutupan Kongres Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia XXI di Ambon, Selasa (3/12/2019) petang, berharap agar GMNI ikut menyuarakan kepentingan masyarakat Maluku di tingkat pusat. Aspirasi itu selaras dengan semangat kongres yang mengangkat tema ”Mempertegas Posisi Kedaulatan Maritim Indonesia untuk Kepentingan Nasional Berbasis Kepulauan Berdasarkan Pancasila”.
Menurut Murad, kekayaan laut Maluku belum berhasil menyejahterahkan masyarakat Maluku yang kini sebanyak 317.690 jiwa atau sekitar 17,69 persen masih hidup di bawah garis kemiskinan. Perlu terobosan kebijakan nasional untuk pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Perairan Maluku menyumbang sekitar 30 persen potensi perikanan nasional.