Sepuluh Gudang Jadi Proyek Percontohan Sistem Resi
Sistem resi gudang dapat menjadi alternatif jaminan pembiayaan bagi petani. Secara jangka panjang, sistem ini dapat menjadi sarana kestabilan pasokan yang berujung pada pengendalian inflasi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menjadikan 10 gudang sebagai proyek percontohan sistem resi sebagai salah satu Program 100 Hari Kementerian Perdagangan. Langkah tersebut bertujuan menyiapkan jaminan pembiayaan bagi petani serta stabilisasi pasokan pangan.
Ke-10 lokasi proyek percontohan itu berada di Lebak, Banten; Kuningan, Jawa Barat; Ciamis, Jawa Barat; Demak, Jawa Tengah; Purworejo, Jawa Tengah; Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara; Wakatobi, Sulawesi Tenggara; Dompu, Nusa Tenggara Barat; Probolinggo, Jawa Timur; dan Sumenep, Jawa Timur.
”Setiap daerah memiliki kepentingan untuk mengembangkan (komoditas) unggulannya, salah satunya melalui sistem resi gudang,” kata Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Aturan mengenai sistem resi gudang terdiri dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2018 tentang Barang yang Dapat Disimpan di Gudang dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang. Sistem ini membuat petani dapat mengakses pembiayaan dengan mengagunkan resi gudang penyimpanan hasil panen mereka.
Dengan mekanisme tersebut, Tjahya mengharapkan sistem resi gudang dapat menjadi alternatif jaminan pembiayaan bagi petani. Secara jangka panjang, sistem ini dapat menjadi sarana kestabilan pasokan yang berujung pada pengendalian inflasi.
Berdasarkan data yang dihimpun Bappebti, pemerintah sudah membangun 123 gudang yang menerapkan sistem resi di 106 kabupaten/kota. Akan tetapi, kegiatan sistem resi di 50 persen di antara gudang-gudang tersebut tergolong tak lancar. Pemerintah mengharapkan proyek percontohan sistem resi gudang tersebut dapat memacu kinerja gudang-gudang lain, terutama yang masih berjalan tak lancar.
Menurut Tjahya, keoptimalan kegiatan sistem resi gudang bergantung pada komitmen pemerintah daerah setempat. ”Hal ini membutuhkan kemauan politik pemerintah setempat untuk memaksimalkan potensi sistem resi gudang bagi komoditas di daerah tersebut. Kalau tidak, bisa jadi tidak lancar, bahkan mangkrak,” lanjutnya.
Selain itu, ketidaklancaran kegiatan sistem resi disebabkan oleh jauhnya jarak antara gudang penyimpanan dan lembaga pengujian mutu yang salah satunya berfungsi untuk menakar nilai komoditas. Tjahya mencontohkan, gudang dengan sistem resi di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, memiliki akses terdekat dengan lembaga pengujian mutu di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Dalam hal pembiayaan, lanjut Tjahya, pemerintah terbuka dengan segala opsi, termasuk teknologi finansial. Hingga saat ini, sejumlah perbankan dan lembaga keuangan telah membiayai sistem resi gudang, seperti Bank BRI, Bank BJB, Bank Jateng, Bank Jatim, Bank Kalsel, Bank Sumsel Babel, Bank Lampung, PKBL PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero), serta LPDB Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Bappebti mendata, sepanjang Januari-November 2019, Bappebti telah menerbitkan 379 resi gudang. Secara total, volume komoditas yang diresikan mencapai 10.673,44 ton dengan nilai Rp 97,78 miliar.
Pengelola
Keberjalanan sistem resi gudang tak hanya bergantung pada pemerintah daerah. Pengelola gudang, lembaga pembiayaan, dan lembaga uji mutu menjadi elemen-elemen penyokong keberjalanan sistem.
Tjahya menyebutkan, pengelola gudang tidak sekadar menjaga, tetapi juga mesti memiliki kreativitas dan inovasi dalam menciptakan nilai tambah dari komoditas-komoditas yang disimpan.
Agar sistem resi gudang berjalan optimal, Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja menyatakan, perangkat desa dan pengelola gudang mesti aktif mendatangi petani. Pada dasarnya, petani lebih memilih fokus berproduksi dibandingkan sistem pergudangan. ”Kami mengusulkan, sistem resi gudang dikelola langsung oleh Bumdes (badan usaha milik desa),” katanya.
Menurut Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi, pengelolaan gudang dengan sistem resi mesti menerapkan prinsip wirausaha. Bisnis resi gudang mestinya tak hanya mengandalkan perbedaan harga antara masa panen dan masa paceklik.