Korban Jiwasraya Tuntut Solusi Nyata dari Pemerintah
Korban tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga nasabah asing, seperti dari Suriname, India, dan Korea Selatan. Salah satu imbas gagal bayar, korban kesulitan finansial untuk memenuhi keperluan pribadi dan keluarga.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Puluhan nasabah produk bancassurance PT Asuransi Jiwasraya menuntut pemerintah segera menghadirkan solusi nyata terkait masalah gagal bayar sejak Oktober 2019. Mereka juga mempertanyakan pertanggungjawaban Jiwasraya dan Otoritas Jasa Keuangan yang dinilai blunder dalam mengeluarkan dan mengawasi penjualan produk asuransi tersebut.
Hal itu mereka sampaikan saat bertemu Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (4/12/2019).
Mereka yang datang merupakan perwakilan nasabah tujuh bank yang mempromosikan produk asuransi senilai total Rp 16 triliun dari perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) tersebut.
Tidak hanya dari dalam negeri, nasabah asing seperti dari Suriname, India, dan Korea Selatan juga hadir. Salah satunya, Lee Kang Hyun, Presiden Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Korea Selatan di Indonesia. Dia mewakili 474 nasabah KEB Hana Bank yang telah menginvestasikan premi pokok sebesar Rp 572 miliar pada produk asuransi bermasalah tersebut.
”Kita semua sadar ada masalah, tapi solusinya dari mana? Korban Indonesia justru dicuekin, diam, mana ada negara begini? Di Korea Selatan, kalau ada kejadian ini, pasti tiap hari berantem dan akhirnya langsung diselesaikan. Orang Indonesia sendiri malah minta bantuan ke orang Korea karena orang asing bisa lebih teriak katanya. Lucu sekali ini,” tuturnya.
Beberapa korban lain yang tidak bisa mencairkan dana asuransinya meski sudah jatuh tempo mengaku mengalami kesulitan finansial untuk memenuhi keperluan pribadi dan keluarga. Kim, salah satu korban, mengatakan tak bisa pulang ke kampungnya dan terancam tidak bisa pergi menghadiri pernikahan anaknya bulan ini.
Nasabah BNI, Agus Jaya, yang turut menjadi korban juga harus menanggung beban finansial atas kejadian tersebut. Ia sudah menuntut pengembalian premi pokoknya senilai lebih dari Rp 1 miliar kepada pihak bank.
”Permintaan itu sudah hampir dipenuhi bank, tapi tidak jadi diberikan karena alasan adanya benturan aturan dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan),” ucapnya.
Pihak Jiwasraya dan OJK, menurut mereka, hingga kini belum mengajak korban bertemu. Sementara itu, Kementerian BUMN, Satgas Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Kelompok Kerja (Pokja IV), serta Kementerian Koordinator Kemaritiman sudah didatangi meski belum ada hasil yang nyata.
Menanggapi laporan korban, anggota Komisi VI DPR, Hendrik Lewerissa, menilai masalah tersebut sudah darurat karena menyangkut kepercayaan, reputasi perusahaan dan pemerintah, serta iklim investasi negara.
”Pada kenyataannya, ada risiko yang harus dihadapi dari masalah ini. Jiwasraya ini perusahaan dengan rating AAA, bahkan sudah nyaris bangkrut. Tapi, ini perusahaan asuransi yang dimiliki negara sehingga ada reputasi yang harusnya dijaga oleh perusahaan dan negara,” ujarnya.
Anggota Komisi VI DPR lainnya, Andre Rosiade, menyoroti fungsi pengawasan OJK. Lembaga pengatur dan pengawas jasa keuangan itu dinilai abai mengawasi perusahaan ataupun keberlanjutan produk asuransi yang blunder karena menawarkan suku bunga lebih dari 7 persen atau di atas rata-rata suku bunga acuan Bank Indonesia selama ini.
”OJK juga sudah kecolongan dua kali. Selain ini, dulu juga ada masalah asuransi Bumiputera yang bermasalah. OJK kali ini enggak bisa cuci tangan. Kami akan minta Komisi XI (bidang keuangan dan perbankan) mengusut tuntas masalah OJK ini,” katanya.
Regulasi nonbank
Belajar dari kasus Jiwasraya, Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi mengatakan, pengetatan pengawasan pada industri keuangan nonbank (IKNB) dan produknya oleh OJK sangat penting. Namun, sebelum itu perlu ada reformasi dalam regulasi IKNB.
”Dalam dialog dengan OJK, OJK mengakui, reformasi di bidang IKNB belum dituntaskan secara menyeluruh, beda dengan perbankan yang regulasinya ketat sekali. Kami mendorong OJK memperbaiki regulasi karena dengan situasi ekonomi yang tidak bagus ini, saya khawatir nanti banyak kejadian yang tidak bisa kita pantau,” tuturnya.
Peraturan yang dibuat OJK ke depan diharapkan juga mampu menutup celah penyelewengan. Hal itu seperti dugaan korupsi pada produk asuransi Jiwasraya. Dugaan itu kini tengah disidik oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta setelah dilaporkan Kementerian BUMN awal tahun ini.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Nirwan Nawawi menyatakan, terdapat penyimpangan yang diduga melanggar ketentuan perundang-undangan. Penyimpangan itu memenuhi kualifikasi tindak pidana korupsi, baik terkait proses penjualan produk maupun dalam pemanfaatan pendapatan sebagai hasil penjualan produk asuransi yang dimaksud.