Pemerintah berencana melonggarkan penetapan skema bagi hasil minyak dan gas bumi. Investor positif menyambut rencana itu.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Perminyakan Indonesia menyambut positif rencana pemerintah melonggarkan penetapan skema bagi hasil minyak dan gas bumi. Pelonggaran tersebut diharapkan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor hulu migas Indonesia.
Sampai dengan triwulan III-2019, realisasi investasi hulu migas sebesar 8,1 miliar dollar AS. Tahun ini, target investasi hulu migas 13,4 miliar dollar AS.
Saat ini, ada dua skema bagi hasil migas di Indonesia, yaitu gross split dan cost recovery. Gross split adalah skema bagi hasil berdasar produksi bruto, sedangkan cost recovery adalah penggantian biaya eksplorasi, pengembangan lapangan, dan produksi yang dikeluarkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Gross split dikenakan untuk kontrak baru pada sebuah wilayah kerja. Adapun untuk perpanjangan kontrak, KKKS diberi dua pilihan skema bagi hasil, yakni gross split atau cost recovery.
”Rencana fleksibilitas skema bagi hasil tentu menjadi sinyal positif bagi kami. Perlu diskusi lebih jauh untuk membahas hal tersebut. Namun, pada intinya, kami akan mengikuti apa pun yang menjadi keputusan pemerintah,” kata Presiden Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) Louise McKenzie, Rabu (4/12/2019), di Jakarta.
Wacana pelonggaran skema bagi hasil dilontarkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, pekan lalu di Jakarta.
Dalam rapat itu, Arifin mempertimbangkan bahwa KKKS dibebaskan memilih skema bagi hasil yang sesuai untuk wilayah kerja yang baru. Ia menyebutkan akan menerbitkan aturan revisi terkait skema bagi hasil migas.
”Kami akan perbaiki dan kami terbuka menerima masukan investor. Kami sedang membahas revisi peraturan mengenai skema bagi hasil tersebut,” ujar Arifin.
Wakil Presiden IPA Ronald Gunawan menambahkan, investor perlu kepastian kontrak untuk stabilitas investasi. Pasalnya, investasi hulu migas adalah investasi yang padat modal dan berisiko tinggi. Kestabilan kontrak diyakini dapat meningkatkan daya tarik investasi hulu migas Indonesia di mata investor.
”Untuk penyederhanaan birokrasi, dalam dua atau tiga tahun terakhir, sudah ada sinyal positif. Kami berharap terus ada perbaikan berkesinambungan di masa mendatang,” kata Ronald.
Sejak kejatuhan harga minyak dunia pada akhir 2014, investasi hulu migas Indonesia lesu dan kini mencoba bangkit. Pada 2017, investasi hulu migas Indonesia hanya 11 miliar dollar AS atau yang terendah sejak 2014.
Selain tantangan harga komoditas, hulu migas Indonesia menghadapi tantang berat lain, yakni produksi minyak yang terus turun dalam beberapa tahun terakhir. Target produksi siap jual (lifting) minyak tahun ini 775.000 barel per hari diperkirakan tidak tercapai, realisasi baru sekitar 745.000 barel per hari.
Padahal, konsumsi bahan bakar minyak Indonesia 1,5 juta barel per hari sehingga kekurangannya harus diperoleh dari impor.
Sebelumnya, dalam diskusi publik tentang program legislasi nasional sektor energi dan pertambangan di Jakarta, mengemuka salah satu penyebab memburuknya iklim investasi di Indonesia adalah aturan yang mudah sekali berubah dan tak ramah investasi. Aturan yang mudah berubah menimbulkan ketidakpastian hukum. Aturan itu termasuk proses revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang sampai saat ini berlarut-larut. (APO)