Soal Aturan Baru Bahan Bakar Kapal, Kementerian ESDM Klaim Siap
Pemerintah menyatakan siap memenuhi aturan baru Organisasi Maritim Internasional terkait penggunaan bahan bakar kapal rendah sulfur mulai 1 Januari 2020. Namun, pelaku usaha menilai bahan bakar itu belum tersedia cukup.
Oleh
ARIS PRASETYO/MUKHAMAD KURNIAWAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyatakan siap memenuhi aturan baru Organisasi Maritim Internasional terkait pengurangan emisi bahan bakar kapal. Terhitung mulai 1 Januari 2020, kandungan sulfur maksimum dalam bahan bakar kapal yang diizinkan adalah 0,5 persen, jauh lebih rendah dari regulasi saat ini, yakni 3,5 persen.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto menyatakan, pemerintah siap memenuhi aturan baru Organisasi Maritim Internasional (IMO) tentang pengurangan emisi bahan bakar kapal.
”Insya Allah siap. Kan, kilang Balongan (milik Pertamina) sudah mampu memproduksi bahan bakar sesuai dengan ketentuan itu. Jadi, tidak ada masalah. Apalagi, kebutuhannya juga tidak banyak,” kata Djoko seusai menghadiri rapat di Komisi VII DPR, di Jakarta, Kamis (5/12/2019).
Sementara itu, Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman belum merespons pertanyaan Kompas mengenai kesiapan Pertamina menyediakan bahan bakar minyak untuk kapal dengan kandungan sulfur 0,5 persen.
Sebelumnya, Kepala Bidang Hubungan Luar Negeri Indonesia National Shipowners’ Association (INSA) Suyono menyatakan, Pertamina memang telah menyediakan bahan bakar minyak untuk kapal dengan kandungan sulfur 0,5 persen. Namun, sejauh ini bahan bakar tersebut baru tersedia di Jakarta dan Balikpapan.
”Harapan kami bahan bakar itu juga tersedia di Aceh, Belawan, Padang, Palembang, Semarang, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Bali, Manado, Makassar, Ambon, Biak, Sorong, Jayapura, Timika, dan Merauke agar ketika kapal sandar di wilayah itu bisa mengisi bahan bakar dengan standar yang sama,” ujarnya.
Ketentuan baru itu berlaku mengikat secara internasional. Jika kapal-kapal asal Indonesia tidak patuh, kata Suyono, mereka berpotensi dilarang sandar di pelabuhan-pelabuhan di luar negeri. Hal itu dikhawatirkan mengganggu perdagangan dan arus barang dari dan ke Indonesia.
Komite Perlindungan Lingkungan Kelautan IMO telah membahas peraturan yang lebih keras tentang emisi belerang dan langkah-langkah lain untuk memenuhi tujuan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 50 persen dari tingkat 2008 pada tahun 2050.
Sektor pelayaran internasional menyumbang sekitar 2 persen dari emisi karbon dioksida yang dipersalahkan atas pemanasan global. Menurut laporan Reuters, industri pelayaran mengonsumsi sekitar 4 juta barel per hari bahan bakar bungker laut. Perubahan aturan itu diperkirakan bakal berdampak pada lebih dari 50.000 kapal dagang secara global serta membuka pasar baru yang signifikan bagi produsen bahan bakar.