Pemerintah masih merumuskan ketentuan teknis pemberian insentif pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan mencapai 300 persen untuk kegiatan riset dan inovasi.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Pemerintah masih merumuskan ketentuan teknis pemberian insentif pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan mencapai 300 persen untuk kegiatan riset dan inovasi. Ketentuan teknis pemberian insentif kedua kegiatan itu akan menegaskan kepada pelakunya untuk memperbaiki kualitas produk dalam negeri.
Insentif pengurangan PPh badan di atas 100 persen (superdeductiontax) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Juni 2019. Aturan itu memuat dua jenis insentif super deduction tax untuk pendidikan vokasi sebesar 200 persen, dan untuk kegiatan riset serta inovasi sebesar 300 persen.
Peraturan turunan untuk pendidikan vokasi terbit pada September 2019, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128 Tahun 2019. Namun, PMK untuk kegiatan riset dan inovasi tak kunjung terbit.
”Pemberian insentif pajak ini dihadapkan pada tantangan. Jangan sampai bikin riset di Indonesia, dapat insentif dari pemerintah, tetapi produksi di luar negeri,” ujar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara di sela-sela acara The 9th Annual International Forum on Economic Development and Public Policy di Nusa Dua, Bali, Kamis (5/12/2019) malam.
Pemberian insentif pajak ini dihadapkan pada tantangan. Jangan sampai bikin riset di Indonesia, dapat insentif dari pemerintah, tetapi produksi di luar negeri.
Pemerintah saat ini sudah menyepakati tarif insentif pengurangan PPh badan untuk kegiatan riset dan inovasi maksimum 300 persen. Namun, ketentuan teknis pelaksanaannya masih harus dirumuskan bersama ahli produk desain dan periset. Insentif pajak untuk riset dan inovasi ini harus bisa memperbaiki kualitas produk dalam negeri.
Menurut Suahasil, insentif super deduction tax akan diberikan jika kegiatan riset dan inovasi dapat memasuki tahap produksi. Dengan demikian, terjadi perbaikan kualitas barang dalam negeri sekaligus penciptaan niai tambah produk.
Namun, desain kebijakan implementasi insentif pajak ini masih terus dirumuskan. ”Pemerintah sedang mendesain bagaimana menjustifikasi insentif pajak yang diberikan benar-benar untuk perbaikan,” ujarnya.
Insentif super deduction tax akan diberikan jika kegiatan riset dan inovasi dapat memasuki tahap produksi. Dengan demikian, terjadi perbaikan kualitas barang dalam negeri.
Berdasarkan PP Nomor 45 Tahun 2019, perusahaan yang melakukan kegiatan penelitian serta pengembangan berbasis teknologi dan inovasi akan diberikan pengurangan PPh paling tinggi 300 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu.
Menurut Suahasil, pemerintah tidak berkapasitas untuk menghalang perusahaan melakukan produksi hasil riset dan inovasi di luar negeri. Karena itu, pemberian insentif pajak ini tetap harus dibarengi perbaikan iklim invetasi, terutama pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
”Indonesia tidak bisa menghentikan secara kaku pemilik teknologi untuk membawa karyanya ke luar negeri. Karena itu, iklim usaha harus diperbaiki,” katanya.
Pemerintah juga sudah menyusun peta jalan Revolusi Industri 4.0 yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi. Pengeluaran kotor untuk riset dan penelitian juga ditingkatkan dari 0,1 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2013 menjadi 1,5-2 persen PDB pada 2045.
Dean of Asian Development Bank Institute (ADBI) Naoyuki Yoshino mengingatkan, setiap negara memiliki keunggulan komparatif, seperti upah buruh yang murah. Hal itu yang menyebabkan banyak perusahaan pindah ke Vietnam untuk produksi. Padahal, teknologi dikembangkan di Thailand, sementara ide riset berasal dari Jepang.
Karena itu, pemberian insentif pajak hanya sebagai pemantik untuk melakukan riset dan inovasi. Namun, pengembangan dan produksi mungkin dilakukan di luar negeri karena iklim investasi kurang baik.
”Transformasi teknologi tetap harus dibarengi reformasi struktural karena potensi kehilangan penerimaan berbalik jadi keuntungan,” kata Yoshino.