Kontribusi BUMN terhadap Negara Masih Minim
Sekitar 80 persen dari total kontribusi pendapatan BUMN hanya disumbang oleh 20 persen total BUMN di Indonesia. Ini artinya, banyak BUMN yang belum beroperasi secara optimal.
JAKARTA, KOMPAS — Performa badan usaha milik negara atau BUMN masih sangat belum optimal. Tidak semua BUMN berorientasi pada profit sehingga rasio capaian laba bersih BUMN terhadap produk domestik bruto tidak lebih dari 1,5 persen.
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan, kinerja BUMN masih belum maksimal. Performa BUMN di Tanah Air itu selayaknya diagram pareto yang menggambarkan kondisi 80 persen dari total capaian kontribusi hanya dihasilkan dari 20 persen usaha.
”Jadi, sekitar 80 persen dari total kontribusi pendapatan BUMN hanya disumbang oleh 20 persen total BUMN di Indonesia. Ini artinya, banyak BUMN yang belum beroperasi secara optimal,” ujarnya di Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Berdasarkan data Kementerian BUMN, jumlah BUMN di Tanah Air pada periode 2016-2017 telah berkurang dari 118 perusahaan menjadi 115 perusahaan. Kemudian, pada 2018, jumlah BUMN kembali berkurang menjadi 114 perusahaan.
Berdasarkan aset, rasio total aset BUMN terhadap produk domestik bruto (PDB) tumbuh dari 53,1 persen pada 2017 menjadi 54,7 persen pada 2018. Namun, apabila menilik sisi pencatatan laba bersih, sejak 2014 hingga 2018 tercatat kontribusi laba bersih BUMN terhadap PDB hanya ada di kisaran 1 persen hingga 1,5 persen.
Jadi, sekitar 80 persen dari total kontribusi pendapatan BUMN hanya disumbang oleh 20 persen total BUMN di Indonesia. Ini artinya, banyak BUMN yang belum beroperasi secara optimal.
Toto mengatakan, capaian laba bersih BUMN dalam negeri masih lebih jauh tertinggal dibandingkan dengan perusahaan milik negara Singapura. Pada 2018, rasio laba bersih terhadap PDB negara yang diraih perusahaan induk BUMN Singapura, Temasek, mencapai 4,64 persen. Padahal, rasio aset Temasek terhadap PDB Singapura hanya 10,52 persen.
”Kalau lihat pertumbuhan aset, BUMN kita jauh lebih baik dari Temasek. Namun, kalau membandingkan revenue, mereka jauh lebih superior,” ujarnya.
Laba bersih Temasek tinggi karena perusahaan mengelola holding atau induk sebagai portofolio. Sementara itu, perusahaan induk BUMN Indonesia masih terlibat dalam proses operasional anak perusahaan yang belum tentu berorientasi pada profit.
Menurut Toto, pengelolaan BUMN Indonesia dapat meniru pengelolaan BUMN China yang membuka skema perusahaan patungan dengan perusahaan internasional. Tentu saja, dengan persyaratan adanya transfer teknologi dan transfer pengetahuan.
Baca juga : Suntikan Modal dari Pemerintah Belum Efektif Dorong Kinerja BUMN
Sejumlah upaya juga perlu dilakukan guna mendorong BUMN bersaing di pasar internasional. Hal ini misalnya dengan memperkuat bisnis yang berorientasi global, aspek kepemimpinan perusahaan yang baik dan berintegritas, serta hubungan kerja sama dengan internasional yang lebih erat.
”Model semacam itu harus diterapkan. Kalau perlu, mengakuisisi perusahaan luar yang sudah punya brand. Seperti holding BUMN China yang tidak ragu mengakuisisi banyak perusahaan multinasional,” ujarnya.
Pasar internasional
Direktur Utama PT Industri Kereta Api (Persero) Budi Noviantoro menilai, pola pikir BUMN yang bersaing di kancah internasional merupakan sebuah keharusan. Dengan begitu, perusahaan akan menyelaraskan rencana bisnis agar bisa sesuai dengan kebutuhan pasar di luar negeri.
Dalam menyasar pasar luar negeri, PT INKA menggunakan pola konsorsium dengan melibatkan BUMN lain, seperti PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan PT Len Industri (Persero) untuk mencapai hasil efektif. Saat ini, ketiga BUMN terus menjajaki ke Laos, Sri Lanka, dan sejumlah negara di Afrika.
”Globalisasi ini adalah hal yang mutlak, tidak bisa tidak, karena kereta api tidak ada pasar yang akan menyerap kalau tidak ke luar negeri. Laos sedang proses, Sri Lanka juga sedang proses,” lanjut Budi.
Sementara itu, Direktur Operasi III PT Wijaya Karya (Persero) Tbk Destoawan Soewardjono menargetkan perseroan dapat menggarap proyek baru di luar negeri dengan nilai Rp 6 triliun pada tahun depan. Nilai tersebut merupakan kontrak baru yang sebagian besar proyeknya berada di Benua Afrika.
”Mayoritas kontrak baru untuk tahun depan ada di Afrika. Tuntutan kualitas sumber daya manusia di pasar Afrika tinggi sehingga banyak risiko harus dihindari,” ujarnya.
Pada 2020, Wijaya Karya menyasar proyek baru di tiga negara kawasan Afrika Barat dan Timur, yaitu Senegal, Pantai Gading, dan Zanzibar-Tanzania, senilai total Rp 5,18 triliun.
Di Senegal, misalnya, Wijaya Karya atau WIKA telah menandatangani kontrak tahap 1 proyek pembangunan Menara Goree senilai 250 juta euro dengan Pemerintah Senegal pada 3 Desember 2019.
Sebelumnya, perjanjian kerja sama ini telah disepakati dalam Dialog Infrastruktur Indonesia-Afrika (IAIF) pada Agustus 2019. Dalam IAID 2019 itu, Indonesia-Afrika menghasilkan kesepakatan bisnis senilai 822 juta dollar AS atau Rp 11,67 triliun.
Baca juga : BUMN Indonesia Bangun Menara Goree di Senegal
Proyek prestisius kawasan bangunan serbaguna atau mixed-used building bertipe proyek full design and build itu dikerjakan oleh WIKA selaku kontraktor utama dengan masa pelaksanaan 24 bulan. Pekerjaan itu mencakup pembangunan hotel bintang lima dengan 33 lantai, sky dining, gedung perkantoran, pusat bisnis dan pertemuan berskala internasional, serta apartemen.
”Kerja sama ini merupakan salah satu tonggak sejarah kiprah BUMN Karya Indonesia di Afrika Barat. WIKA tidak hanya mampu bekerja dalam proyek sosial penyediaan rumah di Afrika, tetapi juga di proyek besar dan prestisius seperti ini,” kata Destiawan yang membawahi Divisi Luar Negeri WIKA.
Kerja sama ini merupakan salah satu tonggak sejarah kiprah BUMN Karya Indonesia di Afrika Barat.
Kementerian Luar Negeri mencatat, pendanaan menjadi masalah utama yang terungkap dalam penjajakan peluang kerja sama Indonesia-Afrika. Namun, hal itu coba dicari alternatifnya dengan tawaran nilai tambah dari sisi Indonesia.
Baca juga : RI Raih Kesepakatan Rp 11,67 Triliun
Nilai tambah itu berupa pendekatan realistis, dengan ikut berupaya menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Persoalan-persoalan sosial itu antara lain kemiskinan dan gizi buruk, yang notabene juga dihadapi Indonesia.
Pembiayaan investasi akan dilakukan melalui Indonesia Eximbank dengan batas maksimal Rp 3 triliun. Jika dijumlahkan dengan pembiayaan dari bank-bank lain secara nasional, akan mencapai Rp 5 triliun. Indonesia Eximbank adalah lembaga keuangan khusus milik Pemerintah RI yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 untuk menjalankan pembiayaan ekspor nasional.