Beras Bulog Senilai Rp 160,6 Miliar ”Dibuang”, Kebijakan Perberasan Tak Beres
Bulog telah menetapkan sebanyak 20.000 ton cadangan beras pemerintah senilai Rp 146 miliar-Rp 160,6 miliar harus dilepaskan. Kebijakan dinilai sebagai puncak gunung es permasalahan kebijakan perberasan nasional.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perum Bulog telah menetapkan sebanyak 20.000 ton cadangan beras pemerintah harus dilepaskan atau disposal. Pelepasan ini dinilai sebagai puncak gunung es dari permasalahan kebijakan perberasan nasional.
Beras yang dilepas Bulog itu diperkirakan senilai Rp 146 miliar-Rp 160,6 miliar. Penghitungan itu berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Regulasi itu mengatur, harga beli beras dalam negeri di gudang Bulog Rp 7.300 per kg. Fleksibilitas angka ini dapat mencapai 10 persen atau menjadi sekitar Rp 8.030 per kg.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi, Rabu (11/12/2019), di Jakarta, mengatakan, pelepasan cadangan beras pemerintah (CBP) itu menunjukkan ketidaksinkronan kebijakan perberasan nasional. Kebijakan pengadaan beras, utamanya dari dalam negeri, tidak sejalan dengan dengan kebijakan penyaluran beras nasional.
”Artinya, beras disposal ini merupakan puncak gunung es dari permasalahan kebijakan perberasan nasional yang cukup mendasar,” kata Bayu kepada Kompas.
Artinya, beras disposal ini merupakan puncak gunung es dari permasalahan kebijakan perberasan nasional yang cukup mendasar.
Sebelumnya, Bulog pernah melepaskan beras dan berakhir pada pemusnahan. Berdasarkan laporan kinerja perusahaan Bulog pada 2017, jumlah beras yang dimusnahkan sepanjang tahun mencapai 9.150 kilogram (kg) karena rusak akibat hujan.
Pada tahun ini, Bulog ”membuang” 20.000 ton beras yang berasal dari pengadaan tahun 2017. Hal itu mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan CBP.
Peraturan ini mewajibkan CBP dilepas jika umur simpannya telah lebih dari empat bulan. Pelepasan tersebut dapat berupa penjualan, pengolahan, penukaran, atau hibah.
Bulog menyebutkan, beras ini akan dilepas untuk bahan baku industri dengan cara dilelang. Contohnya, beras ini dapat menjadi bahan baku pembuatan etanol.
Stok beras di Bulog menumpuk dan sebagian harus dilepas karena minimnya ruang penyaluran. Di hilir, penyaluran total beras Bulog sepanjang 2016-2018 turun.
Jumlah penyaluran beras Bulog pada 2016 sebanyak 3,21 juta ton, kemudian 2,71 juta ton (2017), dan 1,86 juta ton (2018). Proporsi penyaluran terbesar Bulog berupa beras sejahtera (rastra) sebanyak 2,78 juta ton pada 2016, 2,54 juta ton (2018), dan 1,20 juta ton (2018).
Bayu berpendapat, peralihan program jaring pengaman sosial dari skema rastra menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT) menyebabkan penyempitan kanal penyaluran beras Bulog. ”Oleh sebab itu, setiap pemangku kepentingan mesti duduk bersama merumuskan program-program pemerintah yang berkelanjutan sebagai bagian dari kebijakan perberasan nasional,” ujarnya.
Wakil Direktur Utama Perum Bulog Gatot Trihargo menuturkan, Bulog selama ini mesti menunggu penugasan pemerintah untuk menyalurkan CBP sehingga sejumlah stok tertahan di gudang. Hal ini menyebabkan Bulog tidak fleksibel menyalurkan CBP.
”Alur stok CBP mengalami perlambatan perputaran,” kata Gatot.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso memperkirakan, penyaluran beras program BPNT sepanjang 2019 sebanyak 120.000 ton. Penyaluran itu termasuk rendah karena potensi penyalurannya bisa sebanyak 700.000 ton.
”CBP yang akan dilepas Bulog itu berasal dari pengadaan pada 2017. Beras tersebut seharusnya dialokasikan untuk BPNT pada periode yang sama. Namun, beras itu tidak jadi digunakan,” ujarnya.
Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial (Kemensos) Andi ZA Dulung mengemukakan, Kemensos belum bisa mewajibkan pengelola Elektronik Warung Gotong Royong (E-Warong) membeli beras dari Bulog. Hal itu karena belum ada revisi aturan dasar pelaksanaan BPNT.
Kemensos belum bisa mewajibkan pengelola e-warong membeli beras dari Bulog. Hal itu karena belum ada revisi aturan dasar pelaksanaan BPNT.
Hingga saat ini, regulasi yang mengatur program itu adalah Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyaluran BPNT dan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial secara Nontunai.
”Karena regulasi itu belum diubah, kami hanya sebatas bisa mengimbau e-waroeng untuk membeli beras dari Bulog,” ujarnya.
Sebelumnya, pengadaan beras untuk program BPNT yang disalurkan melalui e-warong didominasi para pemasok beras swasta. Setelah Bulog mengeluhkan minimnya kanal penyaluran rastra tersebut, Kemensos memberikan keleluasaan kepada Bulog menjadi pemasok utama.
Sementara itu, Gatot berpendapat, penyamaan persepsi terhadap CBP dengan pemerintah menjadi salah satu solusi dalam tata kelola beras di Bulog. Jumlah stok beras yang dapat disebut CBP adalah beras yang pengadaannya menggunakan anggaran pemerintah.
Sebagai gambaran, Gatot menuturkan, jumlah beras yang dapat disebut CBP sebanyak 250.000 ton. Hal itu mengacu pada anggaran pengadaan yang sebesar Rp 2,5 triliun.
Di sisi lain, Bulog mesti menyiapkan beras sebanyak 1 juta ton-1,5 juta ton sebagai stok penyangga. Artinya, sebanyak 750.000 ton-1,25 juta ton beras lainnya dapat dilepaskan Bulog tanpa menunggu penugasan pemerintah.
”Jika ada yang digunakan untuk CBP, pemerintah cukup mengganti selisih harga pembelian dengan penjualannya,” ujarnya.