Pemerintah Percepat Peningkatan Produktivitas Sektor Perikanan Berkelanjutan
Dengan luas laut mencapai 70 persen dari total luas wilayah Indonesia, pengelolaan laut tidak dapat dilakukan secara sentralistik saja. Harus ada pendekatan pengelolaan kelautan sesuai karakteristik wilayah.
Oleh
erika kurnia
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Pemerintah berupaya memaksimalkan potensi besar sektor kelautan dan perikanan dengan mengalihkan konsep praktik ekonomi tradisional ke berkelanjutan. Hal itu dilakukan dengan mengoptimalisasi 11 wilayah pengelolaan perikanan guna meningkatkan kontribusi sektor ini pada perekonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Data perikanan tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, stok ikan lestari terus meningkat dari 12,5 juta ton pada 2017 menjadi 13,1 juta ton pada 2018. Namun, produksi perikanan tangkap hanya tumbuh tipis, yakni 6,42 juta ton pada 2017 menjadi 6,72 juta ton pada 2018.
Kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) pada semester I-2019 baru sebesar 2,6 persen. PDB nasional pada semester I-2019 sebesar Rp 3.963,5 triliun.
Sekretaris Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Sekretaris Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Himawan Hariyoga mengatakan, Indonesia perlu meningkatkan produksi hasil perikanan, tetapi dengan praktik yang berkelanjutan. Untuk itu, pemerintah menyusun kelembagaan 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
”Dengan luas laut mencapai 70 persen dari total luas wilayah Indonesia, pengelolaan laut tidak dapat dilakukan secara sentralistik saja, tapi harus ada pendekatan pengelolaan kelautan sesuai karakteristik WPP,” kata Himawan saat membuka lokakarya ”Perikanan Berkelanjutan dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Ekonomi Nasional”, di Badung, Bali, Rabu (11/12/2019).
Dengan luas laut mencapai 70 persen dari total luas wilayah Indonesia, pengelolaan laut tidak dapat dilakukan secara sentralistik saja, tapi harus ada pendekatan pengelolaan kelautan sesuai karakteristik WPP.
WPP membagi wilayah pengelolaan laut dalam areal perairan yang besar. Contohnya, WPP 712 meliputi Laut Jawa dan WPP 713 meliputi Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali.
Pembagian itu diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2009 serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia KKP Syarif Wijaya menjelaskan, pembagian WPP untuk memastikan sumber daya kelautan dan perikanan dilakukan sesuai daya dukung dan kebutuhan wilayah. Setiap WPP harus bisa menentukan jenis kapal dan alat penangkap yang dapat digunakan nelayan.
”Setiap WPP juga harus menentukan produk olahan ikan yang bisa dihasilkan untuk memastikan peningkatan kesejahteraan dan keberlanjutan,” kata Syarif.
Setiap WPP juga harus menentukan produk olahan ikan yang bisa dihasilkan untuk memastikan peningkatan kesejahteraan dan keberlanjutan.
Sejauh ini, pemerintah sudah mulai mengembangkan WPP. Konkretnya, dengan mendirikan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di daerah terluar, seperti di Natuna, Sabang (Aceh), Morotai (Maluku Utara), Saumlaki dan Moa (Maluku), serta Biak (Papua).
SKPT merupakan fasilitas yang dibangun di perairan untuk mengintegrasikan berbagai kegiatan kelautan dan perikanan, mulai dari pendaratan hasil kelautan dan perikanan, pengolahan, hingga pemasaran.
”Sudah saatnya kita mengedepankan sebuah proses terpadu dari hulu sampai hilir sehingga tidak ada lagi ikan yang sia-sia setelah ditangkap. Dengan konsep WPP ini, kita juga memberi kesempatan pada WPP tertentu yang masih kurang pelaku usahanya untuk bisa diisi pelaku usaha lain dengan perjanjian antardaerah,” tutur Syarif.
Sederhanakan regulasi
Ia menambahkan, salah satu tantangan pengembangan WPP adalah regulasi yang menyulitkan pengembangan ekosistem usaha, baik untuk nelayan maupun industri pengolahan hasil perikanan. Untuk itu, KKP saat ini sedang mengkaji 29 peraturan menteri, umumnya mengenai perizinan.
Salah satu implementasi regulasi yang masih menyulitkan dan akan dikaji adalah izin operasi kapal untuk menangkap ikan. Dalam mengurus izin kapal penangkap ikan, presiden memerintahkan agar bisa dilakukan dalam satu jam.
”Saat ini, kami masih menguji coba agar prosesnya dipercepat dari 18 hari menjadi sehari,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Syarif, izin pengoperasian kapal serta perizinan terkait pembukaan usaha dan penggunaan alat tangkap juga akan dikaji. Hal itu dinilai penting untuk memastikan optimalisasi penangkapan ikan dan membuka lapangan kerja yang akan menyejahterakan masyarakat yang bergantung pada hasil perikanan.