Diplomasi yang lebih kuat dan aktif sangat menentukan peran Indonesia dalam pergaulan global. Kasus diskriminasi Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit Indonesia jadi contoh pentingnya kekuatan diplomasi sebuah negara.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diplomasi yang lebih kuat dan aktif sangat menentukan peran Indonesia dalam pergaulan global. Sebaliknya, diplomasi yang lemah akan membuat posisi Indonesia tidak diperhitungkan. Kasus diskriminasi Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit Indonesia adalah contoh menarik pentingnya kekuatan diplomasi sebuah negara.
Demikian dikatakan Co-founder Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Peter Frans Gontha dalam pidato kuncinya dalam acara ”Indonesia’s Economic and Political Outlook 2020”, Jumat (13/12/2019), di Jakarta.
Dalam acara tersebut hadir sebagai narasumber adalah Ekonom Senior Bank Mandiri Andry Asmoro, anggota Dewan Pakar Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo) Yongky Susilo, Country Economist Bank Pembangunan Asia Emma R Allen, dan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari.
”Apa yang harus dilakukan diplomasi Indonesia dalam pergaulan global? Diplomasi Indonesia sangat defensif. Saya percaya bahwa Indonesia membutuhkan diplomasi yang lebih ofensif. Kasus diskriminasi minyak kelapa sawit oleh Uni Eropa adalah contoh betapa penting diplomasi yang lebih ofensif,” kata Peter.
Menurut Peter, model diplomasi yang lemah membuat Indonesia kurang diperhitungkan di kancah global. Oleh karena itu, pekerjaan memperkuat peran Indonesia dalam pergaulan global harus menjadi perhatian di masa mendatang. Dengan posisi yang kuat, Indonesia tidak akan sekadar menjadi penonton, tetapi akan menjadi pemain kunci.
Emma menambahkan, kekuatan diplomasi juga diperlukan untuk membangun mitra-mitra baru Indonesia di tengah ketidakpastian global akibat perang dagang Amerika Serikat dan China. Sejauh ini, Vietnam cukup berhasil mengambil manfaat dari dampak perang dagang dua negara besar tersebut. Hal itu terlihat dari tingginya investasi asing yang masuk ke Vietnam.
”Sejauh ini Vietnam menjadi pemenang dari pengalihan investasi akibat perang dagang Amerika Serikat dan China. Indonesia harus terus berupaya dapat mengambil manfaat dari pengalihan investasi lewat penguatan fundamental di dalam negeri sehingga investor merasa aman dan nyaman untuk berinvestasi di Indonesia,” ucap Emma.
Masalah fundamental
Senada dengan Emma, Yongky mengatakan, salah satu fundamental Indonesia yang harus diperbaiki adalah regulasi dan perizinan, khususnya di daerah. Rumitnya perizinan dan regulasi yang menimbulkan ketidakpastian menjadi salah satu penghambat masuknya investasi ke Indonesia. Padahal, investasi dibutuhkan untuk memperluas penciptaan lapangan kerja.
Sementara itu, menurut Andry, tidak sinkronnya regulasi di tingkat pusat dan daerah menyebabkan iklim investasi tersendat. Apalagi, sekitar 30 persen dana APBN mengalir ke daerah-daerah. Masalah tersebut menyebabkan dampak aliran dana yang besar ke daerah terbilang minim.
”Masalah lain adalah soal persyaratan konten lokal. Saat investasi asing masuk ke Indonesia, mereka mengeluhkan sulitnya mendapat bahan baku. Jadi, masalah ini juga harus dicarikan jalan keluar untuk menarik masuk investasi asing ke Indonesia,” ujar Andry.
Sebagai penutup, Qodari mengungkapkan, sampai 2024 kondisi perpolitikan di Indonesia relatif stabil. Hal itu menyusul bergabungnya Prabowo Subianto, yang merupakan rival politik Presiden Joko Widodo dalam pemilihan umum beberapa waktu lalu, ke gerbong pemerintah. Bergabungnya Prabowo memudahkan pemerintah dalam menentukan kebijakan maupun mengambil keputusan.