Pusat Ingin Tarik Pajak Daerah, Fiskal Daerah Bisa Terganggu
Jenis pajak daerah yang direncanakan ditarik ke pusat masih dibahas oleh pemerintah. Rencana itu akan diatur dalam ”omnibus law” untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan. RUU targetnya diserahkan ke DPR bulan ini.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat berencana menarik sejumlah pajak daerah, dan kemudian memberlakukannya secara nasional. Hal ini dilakukan untuk menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri. Namun, di sisi lain, penarikan berpotensi berdampak negatif ke kapasitas fiskal daerah.
Rencana itu akan diatur dalam omnibus law untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan. Aturan sapu jagat ini akan menyinkronkan sejumlah regulasi dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) serta UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, ketentuan mengenai pajak daerah perlu diperbaiki untuk menciptakan keadilan iklim berusaha dalam negeri. Pemerintah pusat akan menarik beberapa jenis pajak daerah dan menetapkan tarif yang berlaku secara nasional. Jadi, tidak lagi berbeda-beda setiap daerah.
”Jenis dan tarif pajak daerah yang akan berlaku secara nasional masih dibahas lebih lanjut. Draf RUU Perpajakan akan diajukan ke DPR pada pertengahan Desember 2019 ini,” kata Suahasil, yang ditemui pada Jumat (13/12/2019) di Jakarta.
Dalam UU No 28/2009, ada 5 jenis pajak yang berwenang dipungut pemerintah provinsi, 11 jenis pajak kabupaten/kota, dan 3 obyek retribusi. UU hanya menetapkan batas minimum dan maksimum tarif sehingga setiap daerah bisa memungut pajak dan retribusi berbeda. Selain itu, ada beberapa obyek yang juga dikenai pungutan pajak berganda antara pusat dan daerah.
Suahasil mengatakan, omnibus law untuk RUU Perpajakan juga mengizinkan pemerintah pusat meninjau ulang dan membatalkan peraturan daerah yang dianggap menghambat investasi.
Ketentuan teknis akan diatur dalam peraturan pemerintah yang saat ini disusun bersamaan dengan draf RUU Perpajakan.
Di sisi lain, kata Suahasil, pemerintah daerah akan diberi wewenang untuk melakukan pembebasan atau keringanan pajak. RUU Perpajakan akan mendaftar ulang berbagai fasilitas pajak yang ada, antara lain tax holiday, tax allowance, supertax deduction, serta pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) di kawasan ekonomi khusus.
”Pengaturan ulang pajak daerah ini semata-mata untuk mendorong iklim investasi dan perekonomian di daerah,” kata Suahasil.
Substansi omnibus law untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan terdiri atas enam kluster, yaitu pendanaan investasi, sistem teritori, subyek pajak orang pribadi, kepatuhan wajib pajak, keadilan iklim berusaha, dan fasilitas perpajakan.
Selain UU PDRD dan UU Pemerintahan Daerah, RUU perpajakan juga akan menyinkronkan sejumlah regulasi dalam UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (KUP), serta UU Kepabeanan.
Peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, berpendapat, UU No 28/2009 sudah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan tarif pajak maksimum. Namun, UU tersebut tidak mengatur secara detail perihal tata cara administrasi, peraturan subyek, dan definisi obyek pajak di daerah.
”Ketidakjelasan tersebut diinterpretasi berbeda oleh setiap daerah sehingga menimbulkan ketidakpastian investasi,” kata Bawono.
Oleh karena itu, pemerintah pusat memang perlu merasionalisasi atau mengambil pajak daerah dengan syarat pungutan bisa lebih optimal dan kontrol lebih mudah. Ada beberapa jenis pajak daerah yang bisa ditarik ke pusat menurut rekomendasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yaitu pajak restoran, pajak hotel, dan pajak parkir.
Meski demikian, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan, rasionalisasi pajak dan retribusi daerah mesti mempertimbangkan pula kapasitas fiskal daerah. Sebab, hal itu bisa berimbas pada berkurangnya pendapatan asli daerah (PAD) akan berkurang dalam jangka pendek.
”PDRD menjadi sumber pendapatan daerah terbesar selain dana perimbangan dari pusat berupa dana alokasi khusus dan dana alokasi umum,” ujar Tauhid.
Di sisi lain, kemampuan pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi masih rendah. Berdasarkan data yang diolah Universitas Indonesia, rata-rata rasio pajak pemerintah daerah 1,2 persen pada 2017. Rasio pajak itu dihitung dari data agregasi provinsi, kabupaten, dan kota yang dibagi produk domestik bruto (PDB) nasional.
Dari 34 provinsi, hanya 10 provinsi yang rasio pajak pemerintah daerahnya di atas rata-rata 1,2 persen. Provinsi itu antara lain Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Banten, Maluku Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat.
Rata-rata rasio pajak pemerintah daerah di Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan sejumlah negara. Rasio pajak pemerintah daerah di Swedia, misalnya, 16 persen, Australia 4,4 persen, Portugal 2,3 persen, dan Hongaria 2 persen.