Perdagangan Lesu, Pelaku Industri Impor Bahan Baku Sesuai Kebutuhan Sesaat
Pelambatan ekonomi global menyebabkan pelaku industri tidak menyimpan stok bahan baku dan penolong secara berlebihan. Mereka mengimpor bahan baku dan penolong sesuai kebutuhan sesaat karena pasar masih lesu.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelambatan ekonomi global menyebabkan pelaku industri tidak menyimpan stok bahan baku dan penolong secara berlebihan. Mereka mengimpor bahan baku dan penolong sesuai dengan kebutuhan sesaat karena pasar masih lesu.
Badan Pusat Statistik mencatat total impor bahan baku/penolong pada Januari-November 2019 turun 11,40 persen dibandingkan dengan periode sama 2018. Salah satu dari bahan baku/penolong itu adalah plastik dan barang dari plastik.
Impor produk yang memiliki kode HS 39 itu pada Januari-November 2019 senilai 8,07 miliar dollar AS. Nilai impor ini turun 4,76 persen dibandingkan dengan periode sama 2018 yang sebesar 8,473 miliar dollar AS.
”Impor bahan baku plastik turun karena ada penambahan kapasitas di dalam negeri,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono, ketika dihubungi Kompas di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Menurut Fajar, terjadi penambahan kapasitas produksi bahan baku plastik berupa polipropilen sekitar 160.000 ton dari dua pabrik petrokimia di dalam negeri. Sementara penurunan impor polietilen terjadi karena ada tren penurunan harga terus-menerus.
”Pada kondisi harga yang masih mencari posisi seperti ini orang cenderung takut untuk belanja. Mereka tidak mau membikin stok bahan baku. Jadi, mereka hanya beli sesuai kebutuhan sesaat,” ujarnya.
Pada kondisi harga yang masih mencari posisi seperti ini orang cenderung takut untuk belanja. Mereka tidak mau membikin stok bahan baku. Jadi, mereka hanya beli sesuai kebutuhan sesaat.
Selain itu, lanjur Fajar, penurunan impor bahan baku di industri plastik juga dipengaruhi penambahan penggunaan plastik yang didaur ulang sebagai bahan baku. Ukuran produk-produk elektronika yang semakin kecil pun memengaruhi pemakaian atau kebutuhan plastik di dalam negeri.
Sulit tumbuhkan ekspor
Terkait kinerja ekspor secara keseluruhan, pelaku usaha menilai masih ada tantangan untuk meningkatkan ekspor. Apalagi di tengah kondisi perdagangan global yang tengah melambat dan diwarnai proteksionisme.
”Saat ini sulit meningkatkan ekspor di atas 10 persen. Kelihatannya, kalaupun (ekspor) naik, angkanya paling hanya sekitar 5 persen,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman.
Saat ini sulit meningkatkan ekspor di atas 10 persen. Kelihatannya, kalaupun (ekspor) naik, angkanya paling hanya sekitar 5 persen.
BPS mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada November 2019 defisit 1,33 miliar dollar AS. Nilai defisit itu merupakan yang terbesar kedua sepanjang Januari-November 2019 setelah April 2019 yang defisit 2,29 miliar dollar AS. Defisit pada November itu semakin melebarkan defisit neraca perdagangan pada Januari-November 2019 menjadi 3,105 miliar dollar AS.
Pada November 2019, ekspor di hampir semua sektor turun cukup tajam, kecuali pertanian yang tumbuh 4,42 persen secara tahunan. Ekspor migas turun 15,81 persen, industri pengolahan turun 1,66 persen, serta pertambangan dan lainnya turun 19,09 persen.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan menargetkan dalam lima tahun ke depan ekspor nonmigas bisa tumbuh 6,88 persen hingga 12,23 persen. Target ekspor ini realistis karena beberapa upaya telah dilakukan, terutama penyelesaian perjanjian perdagangan dan pembukaan pasar-pasar ekspor nontradisional.
”Kami juga mengandalkan atase perdagangan dan pusat promosi yang tersebar di sejumlah negara untuk menggiatkan ekspor,” kata Menteri Perdagangan Agus Suparmanto.