Pertamina akan melanjutkan gasifikasi batubara, proyek kerja sama dengan PT Bukit Asam (Persero) Tbk, di Muara Enim, Sumatera Selatan. Hilirisasi itu menghasilkan gas untuk bahan baku elpiji, pupuk, dan plastik.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero) berkomitmen akan melanjutkan gasifikasi batubara, sebuah proyek hilirisasi batubara yang bekerja sama dengan PT Bukit Asam (Persero) Tbk, di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Gasifikasi batubara adalah rangkaian proses mengubah batubara menjadi gas.
Sebelumnya, pemerintah mengatakan bahwa investasi proyek gasifikasi mahal dan harga gasnya nanti sulit bersaing dengan gas alam.
Pertamina telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Bukit Asam, PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Chandra Asri Petrochemicals Tbk, pada November 2018 lalu. Para pihak tersebut bersepakat dalam proyek mengubah batubara berkalori rendah untuk diproses menghasilkan gas untuk bahan baku elpiji, pupuk, dan plastik. Pabrik gasifikasi ini ditargetkan beroperasi pada November 2022.
"Semua sudah kami kalkulasi (investasi dan keekonomian proyek). Jadi, proyek ini tetap akan kami teruskan," ujar Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Gasifikasi batubara akan menghasilkan produk dimetil eter yang merupakan bahan baku utama elpiji. Proyek ini diharapkan menghasilkan 400.000 ton dimetil eter, 500.000 ton urea, dan 450.000 ton bahan baku plastik per tahun. Butuh batubara sebanyak 5,2 juta ton per tahun sebagai bahan baku proyek gasifikasi.
Nicke menambahkan, lantaran jenis batubara yang digunakan adalah kalori rendah, harganya akan lebih murah ketimbang harga batubara acuan yang ditetapkan pemerintah setiap bulan. Bahan baku dimetil eter yang dihasilkan dari proyek gasifikasi diharapkan bisa mengurangi impor elpiji Pertamina. Pengurangan impor migas merupakan upaya untuk mengurangi defisit pada neraca perdagangan migas.
Bahan baku dimetil eter yang dihasilkan dari proyek gasifikasi diharapkan bisa mengurangi impor elpiji.
Komisi VII DPR mendesak pemerintah merealisasikan gasifikasi batubara. Selain untuk bahan baku elpiji, hasil gasifikasi batubara diharapkan dapat digunakan untuk pasokan jaringan gas rumah tangga. Namun, harga gas dari gasifikasi disebut pemerintah mahal dan tak ekonomis.
"Harganya bisa mencapai 12-14 dollar AS per juta British thermal unit (MMBTU). Akan sulit bersaing dengan gas yang dijual di pasar tunai (spot) dengan harga sekitar 5 dollar AS per MBTU," ujar Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto.
Ongkos investasi gasifikasi, lanjut Djoko, tidak murah dan mencapai triliunan rupiah. Apalagi, saat harga minyak sedang murah seperti saat ini, pengembangan gasifikasi batubara menjadi kurang ekonomis. Keekonomian gasifikasi batubara akan diperoleh saat harga minyak mentah lebih dari 100 dollar AS per barel. Saat ini, harga minyak dunia sekitar 65 dollar AS per barel.
Produksi batubara Indonesia sangat melimpah dan melampaui kemampuan penyerapan di dalam negeri. Tahun ini, target produksi batubara dalam negeri sebanyak 489 juta ton, sedangkan kuota untuk pasar dalam negeri 128 juta ton. Sisanya, yaitu 361 juta ton diekspor ke sejumlah negara, seperti China, India, Korea Selatan, dan Jepang.
Produksi batubara Indonesia sangat melimpah dan melampaui kemampuan penyerapan di dalam negeri.
Di satu sisi, produksi gas bumi Indonesia terus menyusut dalam beberapa tahun terakhir. Tahun ini, pemerintah menargetkan produksi gas sebanyak 1,250 juta barel setara minyak per hari. Sampai triwulan III-2019, produksi gas sebanyak 1,050 juta barrel setara minyak per hari. Realisasi tersebut lebih rendah dari realisasi 2018 yang sebanyak 1,139 juta barrel setara minyak per hari.