Kendati sudah ada penyederhanaan, kemudahan berbisnis di sektor energi sumber daya mineral belum terwujud di lapangan. Penyederhanaan izin di Kementerian ESDM belum diikuti instansi lain, baik pusat maupun daerah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Bebas ekspor, dilarang ekspor, boleh ekspor, kembali dilarang ekspor. Begitulah nasib mineral mentah bukan hasil pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Birokrasi kompleks, berbelit, aturan mudah berubah, dan perizinan bertele-tele mewarnai dinamika investasi sektor energi dan sumber daya mineral di Indonesia.
Di sektor minyak dan gas bumi, pemerintah mewacanakan pelonggaran skema bagi hasil. Tadinya berskema cost recovery atau biaya operasi (eksplorasi dan produksi) yang bisa dipulihkan. Mulai 2017, pemerintah mengenalkan gross split atau bagi hasil berdasar produksi bruto. Skema ini diwajibkan untuk kontrak baru atau hasil terminasi, sedangkan untuk kontrak perpanjangan bebas memilih cost recovery atau gross split.
Tentang pelonggaran itu, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hulu migas bakal dibebaskan memilih cost recovery atau grosssplit untuk kontrak baru, tidak melulu pada hasil perpanjangan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menerbitkan aturan baru tentang pelonggaran skema bagi hasil tersebut. Rencana ini disambut positif Asosiasi Perminyakan Indonesia (Kompas, 5/12/2019).
Dari sisi undang-undang, revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masih berproses. Belum ada kejelasan kelanjutan revisi tersebut. Beberapa pihak heran dengan cepatnya perubahan UU tersebut dalam hitungan tahun.
Belum hilang dari ingatan soal pengelolaan lapangan kaya gas bumi di Blok Masela di lepas pantai Maluku. Awalnya gas diolah di laut di fasilitas pengolahan terapung. Tak lama berselang, pemerintah mengubahnya dan meminta investor (Inpex dan Shell) mengolah gas di darat. Bagaimana tidak pusing? Investasi Blok Masela itu hampir Rp 300 triliun!
Beberapa pebisnis hulu migas di Indonesia mengakui, dan tentu saja dengan nada jengkel yang ditahan, ketidakkonsistenan pemerintah membuat susah. Mudahnya perubahan aturan kerap sejalan dengan pergantian rezim penguasa. Belum lagi ratusan jenis perizinan yang mesti diurus dan sebagian tanpa ada kejelasan kapan selesainya.
Pemerintah mengakui, dampak dari peraturan yang bermasalah adalah timbulnya ketidakpastian hukum. Akibatnya, iklim investasi menjadi tak maksimal dan dalam jangka panjang tak bagus bagi penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Demikian salah satu benang merah dalam diskusi publik bertema ”Evaluasi dan Proyeksi Program Legislasi Nasional Sektor Energi dan Pertambangan”, di Jakarta (Kompas, 4/12/2019).
Kementerian ESDM memang sudah berbenah. Beberapa peraturan dan perizinan yang dipandang menghambat laju investasi dicabut atau dibatalkan. Sejauh ini sudah ada 186 peraturan dan perizinan yang dicabut. Paling banyak ada di sektor tambang mineral dan batubara (96 peraturan dan perizinan) dan disusul sektor migas (56). Sisanya ada di sektor ketenagalistrikan dan sektor energi terbarukan.
Kemudahan berbisnis belum benar-benar terwujud di lapangan.
Kendati sudah ada penyederhanaan, kemudahan berbisnis belum benar-benar terwujud di lapangan. Masih menurut penuturan pelaku bisnis hulu migas, penyederhanaan perizinan di Kementerian ESDM belum diikuti di instansi lain, baik yang ada di pusat maupun di daerah. Memang, urusan perizinan hulu migas di Indonesia tak cukup satu instansi saja, tetapi bisa mencapai belasan hingga puluhan.
Tak heran, peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia, berdasarkan laporan Bank Dunia, turun dari posisi 72 tahun lalu menjadi 73 (dari 190 negara) di tahun ini. Sebelumnya, laporan Global Competitiveness Index (GCI) 2019 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia menyebut peringkat daya saing Indonesia turun lima peringkat ke posisi 50 dari 141 negara yang disurvei. Tahun lalu, Indonesia ada di peringkat ke-45.
Mental atau semangat perubahan tak cukup di pusat, tetapi juga harus mengalir sampai ke daerah. Sudah bukan zamannya lagi perizinan berbelit dan birokrasi kompleks di tengah-tengah gelombang disrupsi digital sekarang ini. Tanpa perubahan, Indonesia tak pernah menjadi negara maju.