Legalitas Hunian Hantui Pembeli, REI Fasilitasi Mediasi
Aduan konsumen yang masuk ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) pada 2019 naik menjadi 1.510 pengaduan dari 580 pengaduan pada 2018. Masalah legalitas hunian mendominasi.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aduan konsumen yang masuk ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional atau BPKN pada 2019 naik menjadi 1.510 pengaduan dari 580 pengaduan pada 2018. Masalah legalitas hunian mendominasi.
Aduan itu diterima BPKN pada periode Januari hingga 5 Desember 2019 dengan perkiraan total potensi kerugian Rp 3,35 triliun. Sebanyak 1.370 aduan konsumen di antaranya berkaitan dengan legalitas hunian.
Menanggapi angka aduan konsumen tersebut, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan, REI akan memfasilitasi mediasi antara pembeli dan pengembang. ”Fasilitas mediasi antara pembeli dan pengembang ini akan aktif mulai Januari 2020 di kantor REI tingkat provinsi dan sejumlah kabupaten,” katanya saat dihubungi, Selasa (17/12/2019).
Fasilitas ini hanya untuk mediasi dengan pengembang anggota REI. Oleh sebab itu, Totok mengharapkan, pemerintah daerah mewajibkan pengembang yang membangun hunian di kawasannya menjadi anggota REI.
Sebelumya, Koordinator Komisi III BPKN Rizal E Halim menyayangkan aduan ini karena sektor perumahan bersifat teregulasi dengan ketat (highly regulated). Namun, sebagian aduan konsumen tersebut menyangkut legalitas hunian.
Salah satu yang menjadi sorotan ialah permasalahan hunian di Batam. Rizal menyebutkan, sejumlah konsumen mengadu soal penggunaan lahan hutan lindung untuk perumahan sehingga hunian tersebut bersifat ilegal.
Sejumlah konsumen di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mengadu soal status rumah susun yang mereka tinggali. Rizal mengatakan, konsumen membutuhkan kepastian status hak guna bangunan yang hampir habis masa berlakunya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengharapkan, konsumen lebih antisipatif terhadap permasalahan legalitas sebelum membeli hunian. ”Konsumen berhak meminta pengembang menjelaskan status kepemilikan lahan, sertifikasi lahan, pelunasan lahan, bahkan penandatanganan site plan oleh pemerintah setempat,” tuturnya.
Era digital
Selain perumahan, BPKN juga menyoroti perlindungan konsumen pada era digital yang membutuhkan pendekatan berbeda. Rizal mengatakan, BPKN akan mengonsep online dispute resolution (ODR) sebagai bentuk adaptasi sistem perlindungan konsumen pada era digital.
Contohnya, transaksi perdagangan melalui sistem elektronik atau e-dagang membuat konsumen dapat membeli barang lintas negara. Namun, mekanisme perlindungan konsumen saat ini belum mengakomodasi transaksi lintas negara tersebut.
ODR diharapkan dapat membuat konsumen menyampaikan keluhannya tanpa tatap muka. ”Konsepnya akan kami rampungkan hingga pertengahan tahun 2020. ODR akan mengintegrasikan perlindungan konsumen yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga,” kata Rizal.