LIPI Proyeksikan Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,04 Persen pada 2020
LIPI memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,07 persen pada 2019 dan 5,04 persen pada 2020. Inflasi akan berada di kisaran 2,9 persen pada 2019 dan ada tendensi meningkat menjadi 3,15 persen pada 2020.
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,07 persen pada 2019 dan 5,04 persen pada 2020. Inflasi akan berada pada kisaran 2,9 persen pada 2019 dan ada tendensi meningkat menjadi 3,15 persen pada 2020.
Perang dagang Amerika Serikat-China yang berefek pada kecenderungan proteksionisme dan pelambatan pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang masih jadi faktor penekan. Untuk itu, tata kelola yang baik dan tepat dibutuhkan untuk mempercepat transformasi dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
”Ketidakpastian global mau tidak mau harus dihadapi dan ini membutuhkan bauran kebijakan yang tak mudah,” kata Kepala Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI) Agus Eko Nugroho, di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Agus mengatakan hal tersebut pada paparan media bertajuk ”Outlook Ekonomi Indonesia 2020: Akselerasi Transformasi Ekonomi, Langkah Baru Menuju Indonesia Maju”. Peneliti P2E LIPI, Latif Adam, menjadi moderator acara tersebut.
Ketidakpastian global mau tidak mau harus dihadapi dan ini membutuhkan bauran kebijakan yang tak mudah.
Menurut Agus, tendensi defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan juga akan menekan nilai tukar rupiah. Artinya, rupiah akan cenderung melemah sehingga kami memprediksi akan berada di sekitar Rp 14.700 per dollar AS.
”Selain tertekan pelambatan perdagangan global, Indonesia juga tengah menghadapi tren transformasi menuju era digital. Ini juga dapat memengaruhi pertumbuhan perekonomian,” ujarnya.
Dua tahun terakhir ini, kinerja perdagangan luar negeri Indonesia benar-benar tertekan. Pada 2018, neraca perdagangan defisit 8,7 miliar dollar Amerika Serikat. Pada periode Januari-November 2019, neraca perdagangan juga defisit 3,11 miliar dollar AS atau Rp 43,4 triliun.
Profesor Riset P2E LIPI Carunia Mulya Firdausy mengemukakan, pertumbuhan ekonomi juga dapat dilihat dari sisi agregat permintaan. Konsumsi rumah tangga dan pemerintah masih menjadi kontributor utama dengan sumbangan masing-masing pada triwulan III-2019 sebesar 53,66 persen dan 7,37 persen.
Pembentukan modal tetap bruto atau investasi berkontribusi 32,56 persen, ekspor 21,2 persen, dan impor 18,4 persen. ”Angka yang penting diperhatikan adalah penurunan pertumbuhan pada triwulan III-2019,” katanya.
Menurut Carunia, masih banyak sektor penopang perekonomian domestik yang mesti dipacu. Terutama dalam mendongkrak sektor manufaktur agar juga berjaya seperti sektor tersier atau jasa.
Profesor Riset P2E LIPI Syarif Hidayat menyatakan, tata kelola yang baik dan tepat dibutuhkan untuk memastikan konsep ataupun implementasi program akselerasi transformasi ekonomi berada pada jalur yang benar.
”Orientasi reformasi kebijakan pemerintah jangan hanya pada reformasi kelembagaan, seperti mengganti kementerian ataupun memotong eselon, tetapi juga penguatan state capacity atau fungsi,” kata Syarif.
Orientasi reformasi kebijakan pemerintah jangan hanya pada reformasi kelembagaan, seperti mengganti kementerian ataupun memotong eselon, tetapi juga penguatan state capacity atau fungsi.
Adapun peneliti P2E LIPI, Maxensius Tri Sambodo, menambahkan, kondisi ekonomi global masih akan memengaruhi dinamika ekonomi domestik pada 2020. Namun, faktor internal lebih dominan menekan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
”Ekonomi Indonesia pada tahun depan akan tumbuh tidak setinggi yang diharapkan. Namun, kualitas pertumbuhan ekonominya lebih penting daripada lajunya,” ujar Maxensius.
Ekonomi Indonesia pada tahun depan akan tumbuh tidak setinggi yang diharapkan. Namun, kualitas pertumbuhan ekonominya lebih penting daripada lajunya.
Langkah pengusaha
Sementara itu, para pelaku usaha menilai seketat apa pun tantangan akibat pelambatan perdagangan global, peningkatan ekspor harus tetap diupayakan. Hal itu termasuk mencari pasar-pasar ekspor baru atau nontradisional.
Optimalisasi peran industri manufaktur dalam negeri pun dibutuhkan dalam menggarap pasar ekspor tersebut. Salah satunya untuk menghasilkan produk-produk ekspor bernilai tambah tinggi dan substitusi impor.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, saat ini posisi dan partisipasi Indonesia di sisi perdagangan, baik multilateral, regional, maupun bilateral, sudah lebih aktif. Untuk itu, Indonesia harus berupaya mengambil peluang dari perang dagang AS-China.
Salah satu upayanya melalui substitusi produk China yang terhambat masuk AS. ”Kami menargetkan lima sektor utama, yaitu tekstil, sepatu, elektronik, mebel, dan makanan-minuman. Ini menjadi fokus yang akan kami ambil untuk diekspor ke AS,” ujarnya.
Shinta berpendapat, Indonesia harus membuat model baru, tidak saja dari segi perjanjian dagang, tetapi juga promosi dan fasilitasi bagi pelaku usaha yang akan mengekspor. Penguatan industri dalam negeri agar produknya berdaya saing pun dibutuhkan jika Indonesia ingin menggarap pasar ekspor lebih banyak.