Ada sederet tantangan dan pekerjaan yang mesti diselesaikan untuk mengoptimalkan dampak ekonomi internet bagi bagi perekonomian nasional. Harapannya, "gemerlap" merata di penjuru Nusantara.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
Segenap data tentang perkembangan ekonomi internet Tanah Air menunjukkan lompatan luar biasa. Sektor ini digadang-gadang mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Namun, ada tantangan dan pekerjaan yang mesti diselesaikan untuk mengoptimalkan dampaknya bagi bagi perekonomian nasional.
Laporan “e-Economy SEA 2019” oleh Google, Temasek Holdings Pte, dan Bain & Co menyebut Indonesia dan Vietnam adalah penentu kecepatan pertumbuhan ekonomi internet Asia Tenggara. Tingkat pertumbuhannya lebih dari 40 persen per tahun dan tanpa sinyal pelambatan.
Ekonomi internet yang dimaksud adalah nilai barang dagangan (GMV) perjalanan daring, e-dagang, media daring, dan layanan angkutan berbasis aplikasi. Khusus Indonesia, ekonomi internet tumbuh empat kali lipat sejak 2015 menjadi 40 miliar dollar AS tahun 2019, dan diperkirakan menembus 130 miliar dollar AS tahun 2025.
Laporan lain, yakni “The Digital Archipelago: How Online Commerce is Driving Indonesia\'s Economic Development (2018)” oleh McKinsey menyebutkan, e-dagang di Indonesia menyumbang setidaknya 8 miliar dollar AS terhadap total pengeluaran konsumen tahun 2017. McKinsey memproyeksikan penjualan barang melalui perdagangan daring akan tumbuh 8 kali lipat tahun 2022.
Perdagangan melalui laman pemasaran atau toko daring mencapai 40 miliar dollar AS serta 25 miliar dollar AS lainnya melalui media sosial. Sekitar 30 persen dari kegiatan itu melibatkan konsumen baru. Selain meningkatkan pendapatan, perdagangan daring diyakini berdampak sosial lebih luas, seperti menghemat 11-25 persen ongkos pembelian pelanggan di luar Pulau Jawa.
Empat unicorn atau usaha rintisan dengan valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS, yakni Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak saja bisa menggambarkan besarnya pasar ekonomi internet di Indonesia. Laporan riset Tokopedia bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa selama Januari-Mei 2019 Tokopedia mencatatkan GMV Rp 14 triliun per bulan. Sampai akhir tahun, totalnya diperkirakan Rp 222 triliun, sekitar 1,5 persen produk domestik bruto (PDB) nasional yang sekitar Rp 14.000 triliun.
Bisnis sejumlah perusahaan itu tak hanya mempermudah akses belanja barang dan jasa, tetapi juga menggairahkan sektor industri lain. Ekonomi internet meningkatkan adopsi layanan keuangan digital, pengiriman barang, jumlah pelaku usaha mikro kecil dan menengah, serta membuka lapangan pekerjaan.
Tantangan
Akan tetapi, di balik “gemerlap” angka-angka itu, perusahaan sektor ekonomi internet dibayangi tantangan, terutama tentang bagaimana menjaga bisnis agar tumbuh berkelanjutan. Tantangan itu sebenarnya lumrah. Namun, euforia terhadap teknologi digital seringkali menyangkal adanya tantangan tersebut.
Sejumlah perusahaan mengkaji ulang performa produk demi mempertahankan pertumbuhan dan profit secara berkelanjutan. Praktik menyubsidi konsumen dalam bentuk diskon besar/imbal tunai atau biasa disebut "bakar uang" dianggap menjadi jebakan bagi perusahaan.
Usaha rintisan bidang teknologi umumnya percaya pada pertumbuhan. Ketika perusahaan dituntut mengejar pertumbuhan, cara yang biasa dilakukan adalah mengakuisisi pengguna baru/pelanggan kompetitor dengan “bakar uang”. Namun, cara ini tak mudah. Tantangannya tetap pada kelangsungan model bisnis, pengelolaan beban jangka panjang, dan penerimaan jangka pendek.
Pekerjaan rumah
Presiden Joko Widodo beberapa kali menekankan visi Indonesia menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Visi ini semestinya didukung penguasaan ekosistem digital. Namun, regulasi internet dianggap belum secara khusus melindungi kedaulatan digital.
Regulasi terkait keberadaan over the top (OTT) atau layanan aplikasi/konten via internet, misalnya, masih dinilai asimetris. Jenis layanan OTT yang sama disediakan oleh perusahaan global dan lokal, tetapi penyedia internasional sering tak tersentuh kewajiban apapun di Indonesia.
Kondisi lain yang jadi sorotan adalah kesulitan pemerintah merumuskan mekanisme pemungutan pajak. Negara pasar OTT, termasuk Indonesia, berharap ada solusi pemajakan global yang lebih adil atas transaksi ekonomi digital.
Pekerjaan rumah yang belum tuntas antara lain terkait perlindungan data pribadi, literasi digital, keamanan siber, dan kesenjangan infrastruktur. Di sektor keuangan, misalnya, teknologi melipatgandakan jangkauan layanan keuangan. Namun, perbedaan mutu jaringan, literasi, dan segenap hambatan membuat pemanfaatannya tak merata. Sebaran pengguna layanan teknologi finansial yang terkonsentrasi di Jabodetabek dan kota-kota besar di Jawa bisa jadi contohnya.
Perkembangan teknologi informasi membuka peluang-peluang ekonomi baru. Namun, ada sederet pekerjaan yang mesti dikejar agar manfaatnya lebih optimal bagi kesejahteraan rakyat, agar "gemerlap" lebih merata di penjuru Nusantara.