Asosiasi Operator Telekomunikasi Seluler Global atau GSMA memperkirakan, Indonesia baru siap meluncurkan layanan 5G pada 2025 bersama dengan sejumlah negara berkembang di Asia Pasifik.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Operator Telekomunikasi Seluler Global atau GSMA memperkirakan, Indonesia baru siap meluncurkan layanan 5G pada 2025 bersama dengan sejumlah negara berkembang di Asia Pasifik, yaitu Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, Myanmar, Pakistan, Samoa, dan Thailand. GSMA beralasan, pada tahun itu permintaan konsumen ritel dan korporasi telah tinggi serta kebutuhan spektrum frekuensi terpenuhi.
Head of GSMA untuk Asia Pasifik Julian Gorman menyampaikan hal tersebut dalam diskusi terbatas dengan media, Rabu (18/12/2019), di Jakarta.
Menurut dia, permintaan konsumen terhadap layanan 5G tidak bisa semata-mata menjadi patokan penggelaran layanan 5G. Dukungan pemerintah tetap diperlukan.
Julian lantas mencontohkan Thailand dan Malaysia, sesama negara berkembang seperti Indonesia. Pemerintah kedua negara itu bahkan sangat antusias mendukung.
Pemerintah Thailand mulai melelang spektrum frekuensi penyokong layanan 5G pada Februari 2020. Sementara Pemerintah Malaysia telah membentuk National 5G Task Force, semacam tim khusus untuk menyiapkan ekosistem layanan 5G.
”Teknologi akses seluler 5G harus dilihat sebagai katalisastor atau bagian yang menggerakkan ekonomi digital,” ujarnya.
Peluang penggelaran layanan 5G di Indonesia bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya, aplikasi internet yang marak tumbuh, masyarakat telah adaptif terhadap hadirnya teknologi realitas virtual, penetrasi ponsel pintar terus naik, 70 persen data seluler dikonsumsi untuk menonton video, inovasi teknologi digital untuk manufaktur bermunculan, dan korporasi terus bertransformasi ke era industri keempat.
Tantangan Indonesia untuk menggelar layanan 5G mencakup kebijakan pengadaan spektrum frekuensi yang belum cepat terlaksana, kesiapan gawai, dan infrastruktur jaringan tulang punggung dan akses.
Julian mengatakan, keberadaan infrastruktur jaringan tulang punggung Palapa Ring berdampak positif bagi industri. Namun, penggelaran layanan 5G memerlukan infrastruktur kabel jaringan tulang punggung lebih banyak, merata, serta jaringan backhaul dan jaringan akses ke pemancar ataupun ke rumah tangga.
”Pembangunan infrastruktur kabel jaringan perlu dukungan pemerintah pusat hingga daerah. Misalnya, kemudahan pengurusan izin membangun. Beberapa jenis spektrum frekuensi penyokong 5G memerlukan pendirian pemancar yang berdekatan dan ini tentunya memerlukan peran serta pemerintah dalam menata,” katanya.
Penggelaran layanan 5G juga memerlukan belanja modal yang besar. Berdasarkan studi GSMA, pada 2018, di Asia Pasifik, total belanja modal untuk membangun layanan 4G mencapai 71 miliar dollar AS, sedangkan 5G sudah senilai 14 miliar dollar AS. Pada 2025, total belanja modal untuk penggelaran 4G naik tipis menjadi 75 miliar dollar AS, sedangkan 5G meningkat menjadi 63 miliar dollar AS.
Kondisi geografis
Untuk Indonesia, beban belanja modal penggelaran layanan 5G juga besar. Apalagi, sampai sekarang, Indonesia masih menghadapi isu pemerataan infrastruktur jaringan telekomunikasi.
”Kondisi geografis Indonesia berupa kepulauan menjadi tantangan ketika membangun infrastruktur. Belanja modal untuk 5G bernilai besar. Model berbagi jaringan (network sharing) atau konsolidasi antaroperator telekomunikasi seluler bisa menjadi opsi,” tuturnya.
Julian menambahkan, kesehatan industri telekomunikasi seluler juga menjadi salah satu tantangan penggelaran 5G. Jika antaroperator masih terjadi perang harga layanan di teknologi akses generasi terdahulu, lalu rerata pendapatan per pengguna (ARPU) terus turun, berarti industri tidak sehat. Jika industri tidak sehat, operator akan semakin terbebani ongkos.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Indonesia (Apjatel) Muhammad Arif Angga mengatakan, pemerataan jaringan telekomunikasi, khususnya jaringan tetap, tidak berjalan optimal. Sebab, operator penyelenggaranya cenderung membangun di area yang sama.
”Akibatnya adalah terjadi kelebihan suplai di wilayah-wilayah tertentu sehingga menyebabkan harga layanan terus menurun,” katanya.