Pemerintah menyiapkan anggaran Rp 5 miliar dari APBN untuk mendukung kegiatan operasional tim gabungan penanganan kasus di lapangan. Kasus itu diharapkan terisolir di Sumatera Utara dan tidak menyebar ke sentra lain.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengajak warga untuk bersama menghambat penyebaran virus demam babi afrika atau african swine fever. Harapannya, wabah tersebut terisolir di sebagian kluster di Sumatera Utara, tak sampai menyebar ke sentra lain di Indonesia.
Pemerintah menyiapkan anggaran Rp 5 miliar dari APBN. Dana itu dialokasikan untuk mendukung kegiatan operasional tim gabungan penanganan kasus di lapangan.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita, melalui keterangan resminya, Kamis (19/12/2019), meminta masyarakat melaporkan kasus kematian babi atau kesakitan babi dengan gejala demam babi afrika atau african swine fever (ASF). ”Jangan menangani dengan membuang ke lingkungan atau sungai,” ujarnya.
Kementerian Pertanian secara resmi telah mengumumkan adanya ASF yang terjadi di 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Deklarasi itu tertuang dalam surat keputusan yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada 12 Desember 2019.
Pemerintah juga telah melaporkan kejadian penyakit ASF ke Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada 17 Desember 2019 melalui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan selaku otoritas veteriner.
”Penyakit ASF adalah salah satu penyakit hewan yang yang harus dinotifikasi (dilaporkan) ke OIE oleh semua negara anggota apabila ada kejadian penyakit tersebut. Hal ini karena ASF merupakan salah satu penyakit hewan yang masuk ke daftar penyakit yang wajib dilaporkan atau notifiable diseases,” ujarnya.
Indonesia sebagai anggota OIE, kata Ketut, mengirim notifikasi setelah mengonfirmasi keberadaan penyakit ASF di 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara berdasarkan hasil investigasi tim gabungan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Balai Veteriner (BVet) Medan, dan dinas provinsi/kabupaten/kota terkait, serta terkonfirmasi hasil uji laboratorium.
Menurut Ketut, langkah-langkah terpenting dalam penanganan ASF adalah penerapan prinsip biosekuriti, seperti penguburan, desinfeksi, pengawasan lalu lintas ternak babi dan produknya, pelarangan swill feeding, serta sosialisasi dan pelatihan.
”Terhadap semua daerah yang terdampak, Kementerian Pertanian telah memberikan bantuan berupa disinfektan, mesin semprot, alat pelindung diri, dan kantong bangkai. Semua bantuan ini dan pendampingan ke peternak diberikan melalui posko darurat di semua tingkatan, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, bahkan tingkat kecamatan,” tuturnya.
Presiden Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI), Sauland Sinaga menyatakan, oleh karena belum ada obat dan vaksin ASF, pihaknya berharap semua pihak yang terkait membantu isolasi agar virus tidak tersebar ke luar wilayah Sumatera Utara. Para pihak itu termasuk pemerintah, dokter hewan, karantina, dan peternak babi.
Selain itu, AMI berharap ada skenario yang terbaik bagi peternak rakyat yang terdampak ASF, seperti bantuan ekonomi, serta penyuluhan tentang biosekuritas yang baik.
Perkembangan kasus
Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, menambahkan, saat ini penyakit ASF masih bisa dibatasi kejadiannya di 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Kabupaten/kota tertular adalah Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Medan.
Saat ini penyakit ASF masih bisa dibatasi kejadiannya di 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Dia berharap, penerapan biosekuriti yang dilakukan bersama petugas dan masyarakat bisa menekan kemungkinan penyebaran kasus. ”Penyakit ASF ini penyebabnya virus yang sangat bandel, virus ini tahan lama di lingkungan dan produk babi. Jadi, kita harus benar-benar memastikan penerapan biosekuriti yang ketat apabila kita tidak ingin penyakitnya tambah menyebar,” ujarnya.
Penyakit ini, kata Fajar, bukan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis). Oleh karena itu, produk babi dipastikan tetap aman untuk konsumsi.
Sejak kasus ASF pertama muncul di Asia, yakni di China pada 2018, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah mengeluarkan edaran pada Agustus 2018. Isinya, meminta semua pihak waspada, bersiap, siaga, dan tanggap dalam menghadapi kejadian penyakit ASF.
Pemerintah mengimbau provinsi lain dengan populasi babi yang tinggi, seperti Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, Kepulauan Riau, dan Papua, waspada dan siap siaga terhadap kemungkinan terjadinya penyakit ASF. Hal penting yang perlu dilakukan antara lain sosialisasi kepada peternak dan advokasi kepada pimpinan daerah terkait ancaman ASF.